Jakarta (Greeners) – Populasi dunia yang semakin berkembang mendorong peningkatan permintaan akan energi, makanan, minuman, mineral dan sumberdaya lain. Semakin naiknya permintaan tersebut secara tidak langsung akan memicu adanya peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara serta perbaikan kondisi hidup masyarakat. Namun pengaruhnya terhadap lingkungan masih belum bisa dipastikan.
The Nature Conservancy (TNC) pada bulan Oktober 2015 lalu, mengeluarkan sebuah studi menyeluruh mengenai penilaian resiko untuk pembangunan global tersebut. Studi yang dipublikasikan melalui jurnal PLOS ONE ini dapat digunakan sebagai kerangka untuk memetakan dan menaksir berbagai potensi ancaman terhadap bentang alam yang tersisa dan mengidentifikasikan wilayah-wilayah di seluruh penjuru dunia yang paling terancam untuk dikonversi.
Natural Resources Manager TNC Indonesia, Musnanda melalui keterangan tertulisnya menyatakan bahwa studi yang dilakukan bersama University of Minnesota Institute on Environment dan Department of Geography at McGill University ini menyajikan pandangan menyeluruh tentang masa depan resiko pembangunan global melalui evaluasi terhadap perkembangan penggerak dan sumber-sumber konversi lahan, seperti dalam bidang pertanian (lahan pertanian dan padang rumput), bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara), pertambangan, energi terbarukan (tenaga matahari, angin dan biofuel) dan urbanisasi.
Studi ini, jelas Musnanda, menunjukkan bahwa tidak ada sektor yang menjadi penggerak tunggal untuk peningkatan resiko, baik secara keseluruhan maupun untuk kawasan tertentu. Meski demikian pertanian, pertambangan, dan perkembangan energi merupakan tiga sektor utama peningkatan resiko.
Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa ekspansi pembangunan di seluruh dunia berpotensi mempengaruhi dua puluh persen dari total bentang alam yang tersisa (19.680.000 km2 – atau lebih dari dua kali lipat ukuran Amerika Serikat), dan secara global hanya lima persen dari bentang alam tersisa yang berisiko tinggi tergerus pembangunan tersebut berada di bawah perlindungan hukum yang kuat.
“Analisis ini bersifat unik karena dapat mengidentifikasi lahan-lahan seperti apa yang beresiko sebelum konflik mulai sehingga solusi dapat dikembangkan untuk mengurangi atau menghindari konflik,” jelasnya, Jakarta, Senin (09/11).
Strategi pemanfaatan lahan yang dapat mengantisipasi konflik dan dampak, lanjutnya, akan memberikan manfaat bagi dunia melalui pertumbuhan dan secara bersamaan juga tetap menjaga kelestarian ekosistem untuk alam dan masyarakat.
Studi ini juga menggarisbawahi adanya kebutuhan perencanaan mitigasi pada tingkatan bentang alam secara proaktif guna tercapainya keseimbangan antara tujuan-tujuan pembangunan dan konservasi. Melihat dampak dan konflik yang timbul akibat eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia, lanjutnya lagi, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan opsi penggunaan pemodelan skenario berbasis ilmu pengetahuan ini ketika melakukan perencanaan pembangunan.
“Sudah saatnya setiap kebijakan yang dibuat dan implementasi pembangunan yang dikerjakan bertujuan untuk melindungi sisa habitat yang merupakan bagian dari kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki,” katanya.
Jim Oakleaf, penulis utama jurnal ini dan ahli geografi untuk program Global Development by Design TNC juga mengemukakan, di banyak tempat, dampak dari pembangunan hanya dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat tunggal tanpa memperhitungkan dampak-dampak terhadap lingkungan secara kumulatif. Namun, studi ini menyoroti kesempatan untuk bergerak lebih dulu dan menciptakan standar pembangunan global baru, yaitu sebuah standar yang tidak mengadu pembangunan dengan sumberdaya alam, tetapi untuk memungkinkan kedua aspek ini berkembang.
Penulis: Danny Kosasih