Jakarta (Greeners) – WWF Indonesia bersama dengan Lembaga Biologi Molekular Eijkman, lembaga riset di bawah Kementerian Riset dan Teknologi, memaparkan hasil studi deoxyribonucleic acid (DNA) gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang diambil dari sampel kotoran gajah di beberapa kantong habitat gajah di Sumatera, khususnya Tesso Nilo.
Ekolog Satwa Liar WWF-Indonesia Sunarto menyatakan, pengumpulan sampel DNA dari kotoran gajah tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2012. Dari analisis sampel ini, tim berhasil mengindentifikasi 113 individu yang berbeda dan diperkirakan jumlah populasi gajah sumatera di kantong habitat Tesso Nilo pada saat sampel diambil yaitu sekitar 154 individu.
“Selain mengetahui jumlah populasi, studi ini juga mengungkap adanya pergerakan beberapa individu di beberapa lokasi yang belum diketahui sebelumnya,” terang Sunarto, Jakarta, Senin (29/08).
BACA JUGA: Gajah Sumatera, Mamalia Darat Raksasa yang Terancam Punah
Studi DNA ini dapat digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk menghitung populasi dan mengetahui kekerabatan satu individu atau kelompok populasi dengan individu atau kelompok lainnya. Hal ini perlu diketahui karena tingginya perkawinan sedarah dapat menyebabkan kerentanan satwa terhadap penyakit dan juga terkait dengan variasi genetik yang rendah.
Lebih lanjut Sunarto menjelaskan, selain untuk studi populasi dan kekerabatan, teknik genetika ini juga dapat digunakan untuk keperluan mitigasi konflik gajah dan manusia serta forensik dalam penegakan hukum. Studi DNA yang diperkuat dengan studi pergerakan gajah dengan bantuan kalung GPS ini juga berhasil mengungkap pergerakan kelompok gajah Tesso Nilo yang terfokus di luar Taman Nasional, yakni di kawasan Hutan Tanaman Industri.
“Hal itu diduga disebabkan oleh tingginya aktivitas manusia, khususnya perambahan, yang terjadi di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo,” katanya.
Krismanko Padang, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia menambahkan, penurunan populasi gajah sumatera utamanya terjadi akibat deforestasi dan konversi hutan menjadi perkebunan, hutan tanaman dan pemukiman yang menyebabkan gajah kehilangan habitat alaminya. Hal ini pula yang meningkatkan frekuensi konflik antara gajah dengan manusia.
“Kondisi itu semakin diperburuk oleh perburuan liar yang mengincar gading gajah akibat permintaan pasar gelap baik domestik maupun internasional yang masih besar,” tambah Krismanko.
BACA JUGA: Anak Gajah Kembali Ditemukan Mati di Taman Nasional Tesso Nilo
Penggunaan teknik genetika molekular untuk konservasi satwa di Indonesia sendiri baru dilakukan terbatas untuk gajah sumatera pada bentang alam Tesso Nilo, Bukit Tigapuluh, Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan. Beberapa lembaga selain WWF yang aktif dalam menerapkan teknik ini dan bekerjasama dengan Lembaga Eijkman adalah FZS dan WCS.
Kombinasi teknik ini dengan pengambilan sampel yang non-invasif (tidak menyakiti satwa) dapat menguntungkan dalam studi populasi satwa elusif serta terancam punah karena tidak perlu bersinggungan langsung dengan satwa sehingga potensi korban satwa-manusia terhindari dan tidak menyebabkan stres pada satwa.
Drh. Dedi Chandra dari Pusat Konservasi Gajah Way Kambas mengatakan, banyak gajah sumatera saat ini berada diluar kawasan lindung, seperti di lahan perkebunan bahkan pemukiman, hingga rentan sekali terjadi konflik. Hingga akhirnya harus mencoba memaksimalkan kontribusi lembaga konservasi ex-situ untuk mendukung konservasi gajah di habitatnya, atau in-situ dan berupaya keras memperbaiki teknik perawatan dan pengelolaan gajah.
“Kita tidak dapat terus menerus menampung gajah dari alam. Selain dapat semakin mengancam kondisi gajah di alam, biaya perawatan juga besar sekali,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih