Jakarta (Greeners) – Berfoto bersama hewan kesayangan lalu mengunggahnya di media sosial tentu membawa kepuasan tersendiri bagi beberapa orang. Namun jika yang diajak berfoto adalah hewan langka hasil buruan atau tindakan yang dikategorikan sebagai animal abuse (kekerasan terhadap hewan), hal tersebut akan menuai kecaman dari berbagai pihak.
Seperti yang dilakukan oleh Ida Tri Susanti (20), mahasiswi di Jember, Jawa Timur. Ia mengunggah foto bersama kucing hutan yang kemudian dikonsumsi oleh seluruh keluarganya. Lalu ada pula Ronal Cristoper (20), yang mengunggah foto beruang madu dikuliti di akun Facebook-nya.
Kedua contoh kasus di atas hanya sedikit dari begitu banyak kasus yang terjadi di media sosial dan berhasil diciduk oleh pihak kepolisian. Menanggapi peristiwa tersebut, Aktivis Sosial yang juga Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, menyatakan, ada dua dugaan mengapa masih ada orang-orang yang mengunggah foto kekerasan hewan di media sosial meskipun mendapat banyak kecaman dari netizen (pengguna internet).
“Pertama, ada kemungkinan mereka yang menggunggah foto itu tidak tahu kalau hewan yang mereka sakiti adalah hewan yang dilindungi. Ada juga yang tidak sadar kalau perbuatan mereka adalah perbuatan yang melanggar hukum. Jadi, ya, mereka santai-santai saja,” terang Imam saat dihubungi oleh Greeners melalui sambungan telepon, Jakarta, Rabu (28/10).
Lalu yang ke dua, lanjut Imam, ada juga orang yang memang sengaja mengunggah foto bersama dengan hewan langka hasil buruan dengan maksud bergaya atau menunjukkan sifat kejantanan (macho) kepada seluruh orang yang melihat foto yang pelaku unggah ke media sosial.
“Bahkan ada juga yang bermaksud menantang karena melihat banyak yang melakukan hal tersebut namun tidak dihukum. Seperti mencari eksistensi,” imbuhnya.
Terkait peran pengguna media sosial dalam menyikapi fenomena tersebut, Praktisi Media Sosial, Shafiq Pontoh menyarankan agar para pengguna sosial media mengabaikan setiap unggahan terkait kekerasan terhadap hewan tersebut. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar tujuan dari pengunggah adalah mencari sensasi dan perhatian dari publik.
“Lebih baik didiamkan saja, atau dikarantina lalu dilaporkan kepada pihak kepolisian. (Polisi) kan ada tuh (penanganan) Cyber Crime-nya. Kalau terus di share (bagi), yang ditakutkan adalah menginspirasi orang-orang baru untuk ikut mengunggah foto yang sama. Membagi foto tersebut bukanlah hal yang bijak,” jelas Shafiq.
Organisasi Jakarta Animal Aid Network (JAAN) juga menyatakan telah dua tahun memantau fenomena ini. Menurut Iben, Koordinator Satwa Liar dari JAAN, orang-orang yang sering mengunggah foto-foto bersama hewan yang dilindungi hasil buruan bisa terkena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Sedangkan apabila foto hewan yang diunggah bukanlah hewan langka yang dilindungi, maka pengunggah bisa terkena KUHP 302 tentang kesejahteraan satwa.
“Mereka juga bisa saja terkena undang-undang teknologi informasi karena telah mengunggah hal yang tidak menyenangkan,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih