Jakarta (Greeners)- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong perusahaan serius terhadap kemasan plastik yang mereka hasilkan. KLHK mengusulkan agar standar kemasan produk menjadi salah satu syarat bahan pertimbangan izin edar produk.
Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ujang Solihin Sidik mengatakan, sampah kemasan yang perusahaan hasilkan harus sudah menjadi core bisnis setiap perusahaan.
Itu artinya, sudah harus menjadi bagian tanggung jawab, termasuk memenuhi standar kemasan produk. KLHK, sambung Ujang tengah mengusulkan standar kemasan produk untuk menjadi pertimbangan izin edar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Jangan hanya pada keamanan pangan dan produknya. Tapi juga memperhatikan standar kemasannya. Ini akan menjadi syarat izin edar. Kami sudah komunikasikan dengan BPOM,” katanya dalam diskusi Diseminasi Peraturan Menteri LHK Nomor P.75/2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, di Jakarta, Jumat (12/3).
Berdasarkan riset terbaru KLHK, masih ada 57 % plastik kemasan dan 13 % kemasan botol plastik dari produk yang terdaftar dalam BPOM. Produk ini mendominasi menjadi sampah di lingkungan.
Ia menegaskan, mengacu dari Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 terdapat kewajiban produsen untuk menerapkan prinsip 3R. R1 yaitu pembatasan timbulan sampah, R2 pendauran ulang sampah dan R3 pemanfaatan kembali sampah.
Khusus untuk R1, produsen harapannya mampu melakukan pembatasan timbulan sampah misalnya dengan menawarkan produk refill. Sementara untuk R2 dan R3 berkaitan erat dengan inovasi produsen dalam memikirkan desain dan bahan kemasan sehingga memudahkan untuk didaur ulang.
Misalnya dengan menggunakan kembali bahan daur ulang untuk produksi baru hingga menarik sampah kemasan untuk digunakan kembali (multiuse).
Daur Ulang Belum Optimal
Selama ini, sambung Ujang kebutuhan bahan baku daur ulang yaitu sebanyak 5,63 juta ton per tahun. Sedangkan kapasitas daur ulang yaitu sebesar 1,65 juta ton per tahun. Sementara daur ulang produk kemasan yang ada hanya mencapai angka 10-11 % saja.
Permasalahannya adalah masih banyak ragam jenis kemasan yang belum bisa dengan mudah terdaur ulang. Misalnya, kemasan sachet atau multilayer yang terbuang ke lingkungan dan menjadi polutan.
Oleh karenanya, pemerintah mendorong produsen untuk memasukkan penanganan sampah kemasan ke dalam struktur pembiayaan produksi. Artinya, bukan lagi sekadar bergantung dari dana-dana dari luar, seperti corporate social responsibility (CSR).
“Jangan lagi urusan sampah menjadi sampingan dan tak dianggap. Kami tekankan agar ini menjadi tanggung jawab dan strategi bisnis mereka,” imbuh Ujang.
Masih mengacu pada Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019, perusahaan harus menargetkan pengurangan sampah sebanyak 30 % (berlaku dari tahun 2020 hingga akhir 2029). Pemerintah berharap, pada per 1 Januari 2030 sudah tidak ada lagi kemasan berbahan PVC dan PS. Tak ada lagi sachet berukuran <50 ml atau <50 gram, serta tak ada lagi sedotan, alat makan minum sekali pakai (singleuse cutlery).
Sementara untuk redesign harapannya menggunakan bahan hasil daur ulang mencapai (50% recycled content). Selain itu penghilangan label dan seal plastic, menggunakan bahan monolayer, warna kemasan minuman produk PET berwarna bening atau kebiruan, serta pengaturan minimum size berbagai jenis kemasan.
Ujang juga menegaskan, implementasi tujuan jangka panjang Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 yakni mengedukasi masyarakat agar semakin sadar dengan sampah. Produsen, sambung dia memiliki peran krusial untuk memberikan alternatif pilihan produk dan kemasan yang ramah lingkungan.
Misalnya dengan mengganti kemasan sachet dengan produk refill. “Sudah saatnya kita menerapkan pola bisnis yang sustain yang pada intinya mendidik masyarakat untuk tak lagi menyampah. Kuncinya ada pada produsen,” ungkapnya
Produsen Menyesuaikan Kebutuhan Masyarakat dengan Produk Kemasan
Sementara CEO Rekosistem Ernest Layman menyatakan, setiap bentuk kemasan yang produsen hasilkan bertujuan untuk menjawab kebutuhan konsumen. Misalnya, karakteristik konsumsi dan daya beli masyarakat biasa menggunakan pecahan seribu, dua ribu hingga lima ribu.
Selain itu, kemasan juga harus harus kuat dan fleksibel mengingat distribusi produk tak sekadar di kota-kota besar, tapi juga daerah dengan bermacam tantangan geografis.
Ia menyebut, saat ini lebih dari 70 % konsumsi masih menggunakan kemasan sachet. “Ketika solusi yang pemerintah langsung ekstrem tanpa ada insentif maupun disintensif baik pada konsumen, produsen hingga inovator tentu ini akan menimbulkan kesenjangan,” kata Ernest.
Misalnya, tantangan untuk produk refill yang akan produsen kirim ke daerah tentu membutuhkan biaya logistik yang mahal. Bahkan setara dengan biaya produksi. Sementara konsumen belum tentu memilih produk refill mengingat masih banyaknya alternatif produk yang praktis. Hal ini akan memengaruhi permintaan pasar sehingga berimbas pada produksi. “Ini seharusnya menjadi perhatian,” ujar dia.
Daur Ulang Kemasan Gairahkan Sirkular Ekonomi
Sementara itu Direktur Pengurangan Sampah KLHK Sinta Saptarina berharap, dengan adanya Permen LHK No 75 Tahun 2019 akan mendorong iklim bisnis penanganan sampah di Indonesia karena memuat penerapan sirkular ekonomi.
“Khususnya pada R2 yaitu daur ulang sampah. Ini akan mendorong semakin banyak pengumpulan dan pendaur ulang sampah yang semula dilakukan sektor informal,” ujar dia.
Ia menyebut, saat ini baik produsen maupun pelaku usaha socialpreneur harus bisa melihat peluang bisnis dari sampah yang produsen hasilkan.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin