Jakarta (Greeners) – Indonesia menjadi salah satu negara pengunggah video penyiksaan hewan di dunia. Ini menyusul laporan dari Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) Report Tahun 2021, dari 5.480 video penyiksaan hewan, sekitar 1.626 atau 29,67 % konten berasal dari Indonesia.
Dari laporan Juli 2020 hingga Agustus 2021 itu, sebanyak 89,6 % penyiksaan hewan berasal dari YouTube.
Laporan tersebut mengamini fenomena baru-baru ini, yaitu pemuda di Tasikmalaya yang menyiksa bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) hingga mati.
Aksi penyiksaan hewan ini pemuda lakukan sembari merekam video. Kemudian konten video itu, diperjualbelikan kepada psikopat. Pelaku mendapatkan uang Rp 150.000-Rp 300.000 per video. Bahkan perkiraan omzetnya mencapai Rp 8 juta.
Polisi menangkap pelaku pada 10 September 2022 lalu dan menjeratnya dengan Pasal 40 Ayat 2 dan Pasal 21 Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Pelaku juga dijerat Undang-Undang RI Pasal 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan Hewan dan Kesehatan Hewan dengan ancaman pidana 5 tahun.
Video Penyiksaan Hewan Dijual ke Psikopat
Menanggapi hal ini, Founder Kukangku Ismail Agung Rumadipraja mengatakan, berbagai faktor yang melatari fenomena ini terjadi di Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan YouTube tiga tahun terakhir, akhirnya memberikan peluang konektivitas hingga semua orang berlomba menyajikan konten pemeliharaan satwa, termasuk monyet yang paling sering oknum siksa.
Berdasarkan penelusuran Kukangku pada tahun 2020, terdapat kurang lebih 300 konten video pemeliharaan monyet di YouTube.
“Ternyata pertumbuhan dari tahun 2018 hingga tahun 2020 konten pemeliharaan monyet itu tumbuh. Tak hanya memelihara monyet, tapi memburu hingga menyiksa demi menyajikan inovasi konten yang beda,” katanya kepada Greeners, Senin (31/10).
AdSense dan pengaruh influencer mendorong orang Indonesia terpacu membuat video penyiksaan. Terlebih terbukanya pasar kelompok psikopat di luar negeri yang mau membayar untuk pelaku penyiksaan hewan.
“Untuk kasus ini memang tidak disebarluaskan di YouTube, sifatnya privat, supply dan demand-nya jelas. Mereka meminta pembuat konten melakukan penyiksaan,” ujar dia.
Ia tak menampik bahwa keuntungan yang penyiksa hewan dapat dari pasar ini sangat besar sehingga memicu untuk terus menerus membuat video serupa. Bahkan yang lebih ekstrem lagi. Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi di Asia Tenggara. Sebab, potensi monyet ekor panjang sangat besar seperti di Kamboja.
Agung menyebut, penyiksaan terhadap monyet tak selalu mengarah pada penyiksaan fisik. Akan tetapi juga psikis sehingga mempengaruhi keberlanjutan hidup mereka.
“Tidak menutup kemungkinan fenomena ini bisa memicu kita untuk membuat konten yang lebih ekstrem. Seperti tak hanya penyiksaan hewan, tapi sesama manusia,” ucapnya.
Monyet Berekor Panjang Terancam
Berdasarkan The International Union for Conservation of Nature (IUCN), monyet ekor panjang saat ini berstatus konservasi terancam berbahaya (endangered) risiko kepunahan.
Iucnredlist.org menyebut populasi monyet ekor panjang akan menurun hingga 40 % dalam tiga generasi terakhir atau sekitar 42 tahun.
Agung mengungkapkan kenaikan status konservasi monyet ekor panjang ini karena faktor alam maupun dari luar yang mengancam keberadaan mereka. Terlebih dengan tren saat ini perlakuan masyarakat terhadap satwa sebagai konten peliharaan.
“Karena statusnya tidak dilindungi, orang berasumsi bahwa hewan ini boleh dipelihara, padahal faktanya harus ada aturan-aturan khususnya,”ujar dia.
Agung menyatakan, monyet ekor panjang berkelompok. Saat manusia memburu monyet ekor panjang maka harus memisahkan induk dan anaknya.
Ia menekankan pentingnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak menonton, memberikan like, comment dan membagikan video terkait penyiksaan hewan. Selain itu, masyarakat perlu dapat edukasi panduan konten apakah termasuk kategori penyiksaan fisik hingga psikologis satwa agar semakin sadar dengan fenomena ini.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin