Siti Nurbaya: UU Cipta Kerja Kedepankan ‘Restorative Justice’

Reading time: 3 menit
Siti Nurbaya: UU Cipta Kerja Kedepankan ‘Restorative Justice’
Menteri Siti menjawab keresahan masyarakat terkait UU Cipta Kerja khususnya pada bidang lingkungan hidup dan kehutanan (7/10/2020). Foto: Shutterstock.

JAKARTA (Greeners) – Menanggapi penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto, bersama sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, menggelar konferensi pers penjelasan Undang-Undang Cipta Kerja di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (7/10/2020). Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Menteri Siti menjawab keresahan masyarakat terkait UU Cipta Kerja khususnya pada bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Poin utama yang Siti tekankan yakni pemberian sanksi kepada pihak perusak lingkungan. Siti mengklaim, UU Cipta Kerja memudahkan pemberian sanksi terkait lingkungan hidup. Pemberian sanksi ini, lanjutnya, lebih mengedepankan sanksi administratif yang berpihak kepada masyarakat.

“UU ini bagi subjek lingkungan hidup dan kehutanan jelas menunjukkan keberpihakannya ke masyarakat. Bisa dilihat dalam UU ini mengedepankan restorative justice. Jadi apa-apa bukan main pidana dan masyarakat dengan tidak gampang dikriminalisasi,” terang Siti.

Siti menambahkan, sanksi administratif yang akan dia gaungkan bersama UU Cipta Kerja adalah denda dana dengan pemberatan yang lebih besar dari denda pokok. Sanksi administratif ini, lanjut dia, melengkapi sanksi pidana penjara dan denda kepada para pengurus korporasi. Lebih jauh, Siti menegaskan sanksi administratif tidak menghilangkan kewajiban pelaku pelanggaran dalam pemulihan kerusakan lingkungan.

“Sanksi administratif itu lebih efektif sebab diterbitkan tanpa proses persidangan yang perlu waktu panjang,” jelasnya.

Baca juga: Pakar: UU Cipta Kerja Lemahkan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup

Menteri Siti Tepis Kabar Lenyapnya Amdal dalam UU Cipta Kerja

Pada konferensi pers, Siti juga menepis adanya anggapan kemunduran perlindungan lingkungan dengan penghilangan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, Amdal tetap ada, tapi diintegrasikan ke dalam izin berusaha.

Dia menyebut proses integrasi tersebut sebagai bentuk peringkasan sistem perizinan dan memperkuat penegakan hukum tanpa mengurangi tujuan dan fungsi. Menurutnya, penegakan hukum dengan adanya UU Cipta Kerja ini lebih kuat sebab jika terjadi masalah lingkungan, izin usaha dapat digugat sebab terintegrasi dengan Amdal.

“Penegakan hukum di waktu lalu, ketika ada masalah dengan lingkungan izin dicabut tetapi usaha bisa berjalan. Jadi tidak benar kalau UU ini melemahkan perlindungan lingkungan,” ucapnya.

Siti Nurbaya: UU Cipta Kerja Kedepankan 'Restorative Justice'

Menteri Siti tepis kabar lenyapnya Amdal dalam UU Cipta Kerja. Foto: Shutterstock.

Lebih jauh Siti mengatakan masyarakat juga dapat terlibat dalam penyusunan Amdal dengan adanya UU Cipta Kerja. Menurutnya, penyusunan Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha atau kegiatan.

Ia menilai hal tersebut lebih memperhatikan kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha atau kegiatan. Pasalnya, menurut evaluasi Siti, kepentingan masyarakat terkena dampak langsung sering terdelusi oleh kepentingan lain.

“Meski begitu kami tetap memberikan ruang untuk pemerhati ligkungan, LSM, dan pembina masyarakat yang terkena dampak,” imbuhnya.

Baca juga: Risma: Rawat Permukiman Kumuh, Tangguhkan Kota

Adapun untuk memperkuat pengawasan dan analisa terhadap Amdal, Siti menyatakan UU Cipta Kerja menyertakan keterangan terkait komisi penilai Amdal dan sistem uji kelayakan. Pembentukan tim dan sistem ini, menurutnya, untuk mempercepat proses mendapatkan izin Amdal dengan penerapan sistem uji kelayakan dan lembaga yang terstandarisasi.

Sistem ini, lanjut Siti, akan dibentuk pemerintah pusat. Sistem baru ini akan membantu gubernur, bupati, dan walikota untuk melaksanakan persyaratan dan menerbitkan persetujuan lingkungan. Menurut Siti, mekanisme ini sesuai Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK). Sementara, lanjutnya, jumlah tim uji kelayakaan yang membantu pemerintah daerah disesuaikan dengan beban penilaian Amdal setiap daerah. Dengan demikian, terang Siti, keterlambatan Amdal terhadap tumpukan beban bisa dihindari.

“Di tim ini para ahli banyak terlibat. Kepada anggota harus bersertifikat agar dokumen Amdal dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik ilmiah,” simpulnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top