Jakarta (Greeners) – Dalam beberapa minggu terakhir, kasus perdagangan satwa liar dilindungi secara ilegal terus bermunculan. Kematian satwa liar seperti gajah di Taman Nasional pun terus terjadi.
Menanggapi hal ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa dua jenis kasus yang menimpa satwa liar dilindungi di Indonesia tersebut tidak lepas dari sistem dan proses pengawasan yang lemah.
Ia juga menyatakan, perlindungan satwa liar dilindungi secara hukum masih sangat lemah. Dari beberapa proses pengadilan yang sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, ada yang dikenai sanksi hukuman hanya tiga bulan atau lima bulan dengan denda maksimal hanya 100 juta. Oleh karena itu, Menteri Siti menegaskan, perubahan atau revisi terhadap UU Nomor 5 Tahun 1990 yang menjadi dasar perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) dilindungi masuk dalam agenda legislasi nasional.
Saat ini, di dunia, kasus perdagangan satwa liar dilindungi secara ilegal bahkan telah dianggap paling kritis setelah perdagangan narkotika. Indonesia sendiri memiliki catatan kasus yang cukup tinggi. Oleh karena itu, Siti menyatakan akan terus melakukan upaya demi menekan kasus kematian satwa liar dilindungi dan perdagangan satwa ilegal di Indonesia.
“Mungkin dengan sistem forest management ke tingkat bawah adalah langkah yang baik,” tuturnya kepada Greeners, Jakarta, Rabu (02/03).
Lebih lanjut, Siti juga menegaskan bahwa ruang hidup satwa liar dilindungi juga perlu diperhatikan, bahkan harus menjadi yang utama. “Harusnya home range (ruang hidup) satwa juga diteliti. Kan ada gajah yang kerjanya nongkrong aja di dekat pemukiman, itu berarti home range-nya yang harus dievaluasi. Untuk yang jalan tolnya punya Menteri Pekerjaan Umum, itu yang saya minta jagain. Jangan sampai PU membelah-belah hutan. Dia harus bikin teknologinya,” lanjut Siti.
Terkait kasus kematian gajah yang terus terjadi, Tenaga Ahli Menteri Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sony Partono menyatakan hal tersebut dikarenakan sulitnya mendeteksi keberadaan ruang hidup gajah-gajah liar. Hingga secara tiba-tiba dan tanpa terdeteksi, gajah liar tersebut masuk ke wilayah pemukiman warga.
“Gajah yang liar itu kadang-kadang sulit terdeteksi, dia tahu-tahu sudah ada di kebun masyarakat. Oleh karena itu kita juga punya mahot (pawang) gajah juga, yaitu gajah yang sudah jinak. Dia tahu ruang hidup gajah-gajah liar tadi,” jelas Sony.
Sosialisasi kepada masyarakat pun, terusnya, masih akan dilakukan. Seperti yang telah dipetakan, ada ruang hidup gajah yang berada di dekat kebun masyarakat, hanya saja kebun itu masuk dalam kawasan hutan sehingga pemerintah tidak bisa begitu saja mengusir masyarakat yang ada di sana.
“Bagaimanapun juga kita harus beritahukan ke masyarakat. Dengan pola mengusir masyarakat tidak bisa, hanya kita menyadarkan saja ke mereka bahwa gajah itu masuk dalam ekosistem hutan. Kalau gajah mati, maka berubah semua ekosistemnya,” pungkasnya.
Sebagai informasi, mengutip data dari Harian Kompas, sedikitnya 152 gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) mati sejak 2012. Kepunahan sudah terjadi di 13 kantong habitat gajah karena habitat gajah secara masif beralih menjadi kebun dan hutan monokultur.
Awal tahun ini saja, lima gajah ditemukan mati. Terakhir, Kamis (25/2), seekor gajah ditemukan mati di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, oleh tim gabungan dari anggota Balai TNTN, polisi, dan anggota World Wildlife Fund (WWF) Riau. Sedangkan habitat gajah terbesar Riau yang berada di Suaka Margasatwa Balai Raja, Duri dan Taman Nasional Tesso Nilo sudah rusak porak-poranda akibat perambahan perkebunan sawit.
Data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menunjukkan, kematian gajah sumatera sejak 2012 terjadi mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, hingga Lampung. Jumlah gajah mati pada 2012 sebanyak 28 ekor, sedangkan pada 2013 sebanyak 33 gajah. Puncaknya, pada 2014 sebanyak 46 gajah ditemukan mati. Pada 2015 ditemukan 42 gajah mati, tetapi diduga jumlahnya lebih banyak lagi karena belum semuanya terpantau.
Secara internasional, gajah sumatera pun saat ini termasuk dalam kategori satwa terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah spesies terancam punah yang dikeluarkan oleh lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Dalam regulasi di Indonesia, gajah sumatera juga masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah yaitu PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Penulis: Danny Kosasih