Jakarta (Greeners) – Pemerintah Indonesia terus mengupayakan untuk meningkatkan daya saing industri kelapa sawit Indonesia di pasar dunia, salah satunya dengan memberlakukan kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Selain itu, ada pula Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan (Pustanlinghut), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Noer Adi Wardojo mengatakan bahwa ISPO diposisikan sebagai standar kebijakan minimum untuk perkebunan sawit dan perindustrian sawit. Ini berarti ISPO merupakan instrumen yang menjadi pilihan pemerintah Indonesia untuk keberlanjutan perkelapasawitan Indonesia.
“ISPO sudah dipertimbangkan dengan realistis dan baik. Kita yakin itu sudah dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya dan kita paham ada ekspektasi-ekspketasi dari pihak lain, tetap kita harus bisa menjelaskan kriteria ISPO kita secara jelas,” ujar Adi, Jakarta, Kamis (07/06/2018).
ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan.
“Industri kelapa sawit terdiri dari perkebunan besar, pengolahan, dan konsumen yang memiliki berbagai kepentingan, sulit untuk mengambil kebijakan yang tepat. Oleh karena itu, sertifikasi ISPO sebagai instrumen tata kelola berkelanjutan menjadi fokus pemerintah untuk industri kelapa sawit,” ujar Diah Y. Suradiredja, program director Yayasan KEHATI sekaligus Tim Penguatan ISPO.
BACA JUGA: Menko Luhut: Deforestasi Sektor Sawit Terkecil Dibandingkan Peternakan Sapi
Berdasarkan data KEHATI, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 12,3 juta hektare dengan jumlah perkebunan besar swasta mencapai 1.600 kebun. Pada proses pengolahan perkebunan besar, Indonesia memiliki 40 pabrik pengolahan sawit dan 850 Mills (pabrik sawit) sedangkan Malaysia memiliki 52 pabrik pengolahan dan 445 Mills.
“Selama pelaksanaan sertifikasi ISPO, ternyata luas kebun yang berhasil memperoleh sertifikasi hanya 16.6% dari total luas kebun sawit nasional yang mencakup 346 dari 1.500 unit pelaku usaha perkebunan sawit,” kata Diah.
Diah melanjutkan, di tahun 2017 terdapat 4,7 juta ha lahan kebun kelapa sawit rakyat. Namun demikian, hanya ada 3.631 ha lahan yang tersertifikasi ISPO atau 0,08% dari total seluruh kebun rakyat. Rendahnya kebun sawit rakyat yang mendapat sertifikasi disebabkan oleh adanya gap informasi administrasi dari para pekebun terhadap sertifikasi ISPO.
“Masih belum tercapainya target dari sertifikasi ISPO, terbatasnya keterlibatan stakeholder lain hingga pengakuan dari pasar internasional yang masih rendah, menjadi poin-poin utama yang mendorong dibutuhkannya penguatan dari ISPO,” ujar Diah.
Menurut Diah, penguatan ISPO bisa dilakukan dengan cara perbaikan tata kelola serifikasi agar lebih independen, transparan, komprehensif dan terkoordinir, meningkatkan penerimaan produk kelapa sawit Indonesia di pasar internasional, dan implementasi ISPO yang lebih inklusif serta mengikutsertakan peran dari stakeholder lain di samping Kementerian Pertanian.
BACA JUGA: Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Belum Terintegrasi
Di sisi lain, CEO WWF Indonesia, Rizal Malik, menyatakan pandangan yang berbeda. Menurutnya, jika Indonesia ingin industri sawit memegang gold standard maka standar yang cukup tinggi ialah RSPO. Hal ini dikarenakan selain untuk legalitas, RSPO juga memperhatikan standar ramah lingkungan dalam hal aspek proses produksi dan aspek sosial.
“Menurut pendapat kami ISPO belum mendekati standar RSPO, terutama karena ISPO lebih banyak berkaitan dengan kesesuaian dengan peraturan pemerintah. ISPO bagus kalau berbicara legalitas tapi yang namanya minyak sawit berkelanjutan bukan hanya soal legalitas, tapi aspek secara lingkungan seperti dalam proses produksi dan praktik-praktiknya. Lalu, aspek sosial yang pasti berkaitan dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Secara legal mereka (perusahaan sawit, Red.) punya konsesi tapi biasanya secara realitas di hutan biasanya ada penghuninya yaitu masyarakat adat,” jelas Rizal.
Rizal mengatakan bahwa RSPO adalah asosiasi yang bersifat voluntary terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan) yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
Penulis: Dewi Purningsih