Jakarta (Greeners) – Peneliti Utama dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Andria Agusta dikukuhkan sebagai profesor riset dengan membawa penelitian “Pengembangan Senyawa Kimia (+)-2.2’-Episitoskirin A Dari Jamur Endofit Untuk Mendukung Antibiotik Indonesia”. Dalam orasinya, Andria menyampaikan pentingnya pengembangan jamur endofit untuk mendukung kemandirian antibiotika di Indonesia.
Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi. Tidak kurang 40.000 jenis tumbuhan hidup tersebar dari Sabang hingga Merauke. Diperkirakan sekitar 1,5 juta jenis mikrob hidup tersebar di berbagai belahan dunia dan baru sekitar 10% di antaranya yang sudah dikenal dan diidentifikasi.
“Dengan kondisi alam yang ideal untuk tempat tumbuh dan berkembangnya mikrob, menjadi ironi sampai saat ini belum satupun antibiotika yang secara resmi dihasilkan oleh mikrob yang berasal dari Indonesia. Bahkan sampai saat ini Indonesia masih dihadapkan masalah pelik di bidang kesehatan, yaitu ketergantungan yang nyaris secara total terhadap bahan baku obat impor,” jelas Andria pada acara Orasi Pengukuhan Profesor Riset di Ruang Auditorium LIPI, Jakarta, Rabu (12/12/2018).
BACA JUGA: LIPI: Faktor Alam dan Antropogenik Menyebabkan Kondisi Terumbu Karang Jelek
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, diperkirakan lebih dari 95% bahan baku obat yang beredar di Indonesia adalah barang impor dengan nilai total Rp11,66 triliun di tahun 2016. Dari nilai tersebut, impor antibiotik menduduki porsi yang terbesar dengan nilai total mencapai US$ 91,3 juta atau setara dengan Rp1,37 triliun pada tahun 2014.
“Kita bangsa Indonesia dalam hal ini dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di lumbung padi. Untuk itu, mulai dari tahun 2001 Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong, secara intensif telah melakukan pencarian dan pengembangan bahan obat, terutama antibiotik yang diproduksi oleh mikrob, khususnya jamur endofit yang berasosiasi dengan tumbuhan obat di Indonesia,” ujar Andria.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jamur endofit memiliki keunikan dan kekhasan dalam memproduksi senyawa-senyawa yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti antibiotik. Dari tahun 2001 sampai dengan 2018 sebanyak 1.000 lebih isolat jamur endofit telah dikoleksi dan ditapis (disaring) kemampuannya untuk memproduksi senyawa dengan aktivitas biologi, baik sebagai anti-bakteri, antifungal, dan antioksidan.
“Jadi antibiotik penelitian yang saya kembangkan itu senyawa kimia (+)-2.2’-Episitoskirin A dari Jamur Endofit. Senyawa ini nantinya akan dimanfaatkan sebagai obat antibiotik infeksi berbentuk krim untuk mengobati luka luar seperti abses (bisul), koreng, maupun borok,” ujarnya.
BACA JUGA: Tingkatkan Kualitas Peneliti, LIPI dan Wageningen University Gelar WISE 2018
Andria menegaskan bahwa senyawa (+)-2.2’-Episitoskirin A merupakan kandidat antibiotik yang penelitian dan pengembangannya 100% dilakukan di Indonesia dan tanpa melibatkan peneliti asing. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang besar juga bisa menggali potensi sumber daya hayatinya sendiri menjadi bahan baku obat.
Di samping itu Andria berharap bahwa pemerintah Indonesia bisa terus mendukung penelitian yang dilakukan olehnya. Pasalnya banyak perusahaan dalam negeri yang bangkrut akibat kalah bersaing dengan produk-produk dari luar negeri. Tidak adanya regulasi atau kebijakan untuk mengatur impor obat memperparah keadaan tersebut.
“Kendala saat ini pasar kita sangat bebas, tidak ada proteksi untuk produk-produk obat dalam negeri dan regulasi produk obat impor yang bebas. Contoh ada pabrik amoxicillin itu sudah beroperasi dengan kualitas yang bagus kemudian dihantam produk murah dari Cina yang kualitasnya di bawah. Diperparah masyarakat yang masih melihat dari murahnya produk sehingga hanya dua tahun berjalan pabrik tersebut karena rugi,” kata Andria.
Dengan keberhasilan yang sudah dicapai sejauh ini, Andria berharap kandidat antibiotik (+)-2.2’-Episitoskirin A ini dapat menjadi pemicu ditemukannya antibiotik asli Indonesia yang akan menjadi pengganti atau subtitusi bagi impor antibiotik yang nilainya mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya.
Penulis: Dewi Purningsih