Jakarta (Greeners) – Pengembangan biodiversitas yang berpotensi bioprospeksi dan bernilai ekonomi tinggi sangat penting dilakukan. Apalagi Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Pakar keanekaragaman hayati Prof Endang Sukara mengatakan, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) dengan endemisitas yang tinggi.
“Tumbuhan Indonesia misalnya, 60 persennya itu tidak dimiliki negara lain. Oleh karenanya patut kita perhatikan manfaatnya untuk kita,” katanya dalam Peluncuran dan Bedah Buku “Potensi Bioprospeksi Indonesia bagi Pembangunan Ekonomi NKRI” di Jakarta, Rabu (8/6).
Dalam bioprospeksi terdapat serangkaian kegiatan untuk mencari dan menemukan senyawa bioaktif baru melalui eksplorasi keragaman hayati.
Nilai ekonomi dalam bioprospeksi ini dapat mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan. Misalnya dalam bidang bahan dasar farmasi sehingga Indonesia mendapatkan banyak keuntungan.
Namun sayangnya, hingga saat ini nilai ketergantungan impor farmasi di Indonesia masih sangat tinggi. Padahal, sambung Endang potensi ekonomi bioprospeksi sangat tinggi. Misalnya, pada kodok terdapat senyawa bernama maganin.
Senyawa aktif ini merupakan cikal bakal antibiotik baru karena mampu memerangi mikroba yang sangat resisten terhadap antibiotik. Senyawa ini bisa terjual senilai 1.572 SGD per gram.
Potensi lain yaitu keong kerucut atau cone snail venom yang mengandung ziconotide ampuh mengobati rasa sakit. Bahkan kandungan ziconotide memiliki kekuatan 1.000 kali lipat efeknya lebih efektif dibanding morfin dan tidak menyebabkan adiktif. Adapun untuk harganya yaitu US$ 10,5 per gram.
Masalahnya, saat ini Indonesia belum memiliki pemahaman dan kompetensi untuk potensi ini. “Biodiversity jangan dimain-mainkan. Tapi sayangnya saat ini kita masih belum punya pemahaman yang sama tentang pentingnya keanekaragaman hayati yang endemik di kita. Belum ada single molekul structure yang bisa menjadi penyokong pembangunan bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Penyelamatan Keanekaragaman Hayati untuk Mencari Potensi Bioprospeksi
Endang menekankan pentingnya perubahan paradigma yang menjadikan biodiversity sebagai agenda prioritas dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah bersama berbagai pihak terkait hendaknya segera menyelamatkan dan mengambil manfaat bioprospeksi ini.
Pakar lingkungan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Universitas IPB Hadi S. Alikodra menyebut, Indonesia tak cukup sekadar melakukan melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati yang ada. Akan tetapi penting untuk mencari bentuk baru pemanfaatannya.
Pemanfaatannya dapat dengan merakit, meramu sumber daya biodiversitas menjadi super produk yang sangat berharga, seperti obat-obatan, kosmetik, hingga kebutuhan lainnya.
“Indonesia harus segera bergerak cepat dan meloncat. Kalau tidak maka akan tertinggal oleh negara maju lainnya. Mereka kebanyakan telah mengembangkan bioprospeksi. Sedangkan kita masih menahan itu,” imbuhnya.
Keanekaragaman Hayati di Indonesia Belum Optimal Dimanfaatkan
Sementara itu Sekretaris Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Suharyono mengakui, saat ini keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia belum optimal pemanfaatannya. Khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional.
“Salah satu faktor yang menyebabkan karena selama ini kita masih fokus pada upaya perlindungan. Belum mengembangkan riset yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya hayati secara komersial,” ungkapnya.
Ia berharap dukungan semua pihak untuk mengembangkan bioprospeksi secara komersial. “Pengembangan bioprospeksi menjelaskan bahwa keanekaragaman yang kita miliki dapat dijaga kelestariannya. Bukan sebaliknya,” pungkasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin