Jakarta (Greeners) – Ada banyak cara mengekspresikan diri saat melakukan perjalanan ke destinasi wisata baru, apalagi lokasi wisata itu menyajikan keindahan alam dan pemandangan yang menarik hasrat untuk diabadikan melalui jepretan kamera.
Sayang, fenomena selfie atau foto diri di lokasi wisata, baik laut, pegunungan maupun daerah lainnya yang mampu menjadi salah satu strategi promosi yang bisa dimanfaatkan, malah berdampak kerusakan terhadap lokasi wisata tersebut. Saat ini, masih banyak lokasi-lokasi wisata khususnya yang belum banyak diketahui masyarakat luas, melupakan pengkajian terkait master plan pembangunan wisata berkelanjutan, termasuk edukasi dan pemberdayaan masyarakat lokal.
John E. Sidjabat, Ketua Asosiasi Usaha Wisata Selam Indonesia (AUWSI), saat berbincang oleh Greeners dalam kegiatan #Divers Clean Action di Pulau Pramuka mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan peningkatan jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia. Dalam kondisi tersebut, akhirnya banyak ditemukan daerah-daerah terpencil dengan lokasi yang indah dan berpotensi untuk menjadi tempat wisata.
Namun, banyak lokasi wisata tersembunyi yang belum membuat master plan pembangunan berkelanjutan tapi telah didatangi banyak wisatawan. Para pengunjung tersebut mengunggah gambar-gambar indah di lokasi wisata itu ke sosial media dan diketahui oleh masyarakat luas, hingga akhirnya tempat itu terpromosi dengan sendirinya.
“Kalau begini akibatnya kan sebelum menjadi destinasi wisata formal, masyarakat sudah datang berduyun-duyun. Dari sini kita sudah tebak masalahnya adalah kondisi lokasi wisata akan rusak dan sampah yang menumpuk. Masyarakat lokal pun tidak siap dengan wisatawan yang datang berduyun-duyun. Karena tidak bisa menyajikan makanan, akhirnya menjual makanan instan yang pasti akan menimbulkan sampah,” tuturnya, Jakarta, Sabtu (20/02).
Fenomena seperti ini sedang terjadi. John memberi contoh kawasan wisata Mande di pesisir selatan kota Padang. Lokasi tersebut masih belum memiliki master plan pengembangan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat lokal, namun telah terekspose lebih dahulu sehingga wisatawan pun datang beramai-ramai.
Situasi ini bertambah buruk ketika para wisatawan tersebut datang dibawa oleh event organizer (EO) yang tidak jelas dan merasa bisa mengatur dan merencanakan perjalanan wisata namun tidak memiliki keahlian untuk mengatur para wisatawan yang mereka bawa untuk menjaga lingkungan di lokasi wisata Mande tersebut.
“Selain EO, masyarakat lokal yang melayani transportasi kapal juga tidak memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan. Mereka rela melempar jangkar sembarangan ke dalam air dan merusak terumbu karang demi memberikan pelayanan yang baik bagi wisatawan. Belum ditetapkan sebagai lokasi wisata tapi daerahnya sudah rusak,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih