Jakarta (Greeners) – Beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, melarang kapal ikan menggunakan cantrang untuk menangkap ikan. Pelarangan ini kini menimbulkan polemik, khususnya diantara pengusaha perikanan dan nelayan. Situasi ini pun mendapat perhatian dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang menyatakan turut mendukung pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak di seluruh perairan Indonesia.
Ketua Umum KNTI, Riza Damanik, menyatakan bahwa meski mendukung pelarangan penggunaan alat tangkap yang dapat merusak perairan, namun pelarangan tersebut harus dilakukan dengan cara yang benar dan terukur. Ia juga meminta agar Pemerintah Pusat untuk mengawal secara penuh dan bersikap tegas dalam masa transisi setelah adanya larangan itu.
Untuk mengetahui operasional cantrang dari berbagai ukuran, Riza berharap pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat bekerjasama dalam melakukan simulasi dan pemantauan.
“Proses tranparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait status merusak atau tidaknya alat tangkap cantrang,” jelasnya, Jakarta, Senin (23/03).
Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan. Lalu, menyelesaikan secara tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru.
“Pemerintah Daerah juga perlu menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan adanya standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan yang menjadi amanat dari UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan,” terangnya.
Sementara itu, beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, banyak terjadi penyalahgunaan dan kerugian negara karena kapal-kapal menangkap ikan dengan alat tangkap cantrang. Menurut Susi, berdasarkan temuan di lapangan, kapal-kapal tersebut memperkecil ukurannya sehingga bisa menggunakan cantrang.
“Kenyataannya sekarang 90 persen kapal cantrang atau pukat hela dipakai oleh kapal-kapal yang di atas 100 GT. Sampel di Tegal ditemukan 10 kapal semua di atas 150 GT, tetapi mereka buatnya di bawah 30 GT,” katanya.
Selain itu, tambahnya, KKP pun menemukan adanya indikasi penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi lantaran kapal di atas 30 GT tak lagi bisa menerima subsidi. Susi menyatakan, dengan penggunaan cantrang, kerusakan lingkungan akan terus terjadi dan akan menyebabkan penyusutan sumber daya alam yang ada di pesisir pantai.
“Kita harus melindungi nelayan tradisional yang sangat dirugikan dengan cantrang atau pukat. Gara-gara itu (cantrang), ikan bawal putih yang dulu harganya ratusan ribu sekarang sudah tidak ada lagi,” ujar Susi.
Selain itu, Susi mengaku kalau tekanan tidak hanya datang dari dalam negeri. Menurutnya, ada pihak-pihak yang memintanya untuk menukar aturan larangan cantrang ini dengan uang. Ia menegaskan bahwa tidak ada tawar-menawar saat berbicara tentang sumber daya laut yang berkelanjutan. Sebab, lanjutnya, penggunaan alat tangkap cantrang dan trawl yang tidak ramah lingkungan dapat merusak ekosistem laut Indonesia.
“Ada pengusaha yang berniat menukar aturan itu dengan uang Rp 1 triliun. Ini kan berarti yang main bukan lagi domestik, tapi asing ikut protes aturan ini karena mereka banyak bermain di sini. Saya katakan saya tidak bisa dibeli, Rp 1 triliun tidak bisa membeli prinsip dan pendapat saya, ” tegas Susi.
Penulis: Danny Kosasih