Jakarta (Greeners) – Menjaga kebersihan bukanlah sebuah program, melainkan sebuah keharusan yang wajib dilakukan oleh setiap orang, siapapun itu dengan tidak mengenal strata sosial. Setidaknya begitulah yang disampaikan oleh Walikota Jakarta Timur, H.R Krisdianto saat menyampaikan sambutannya pada peringatan Hari Ciliwung ke 3 di Kelurahan Balekambang, Jakarta Timur.
Kris yang datang menggantikan Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini menceritakan bahwa sudah sejak dahulu Sungai Ciliwung terkenal dengan kebersihannya. Namun, lanjutnya, sangat disayangkan bahwa hal tersebut terhenti sejak kesadaran masyarakat dalam membuang sampah di sungai semakin menurun.
“Kita harus sama-sama berkomitmen untuk mengembalikan Ciliwung seperti dahulu. Nantinya, kalau Ciliwung sudah bersih, bisa menjadi tempat wisata. Ada banyak (tempat) kuliner dipinggirnya. Semua akan kita perindah tapi tidak bisa sekarang karena masih kotor. Jadi, mari kita bersihkan Ciliwung,” terang Kris saat ditemui oleh Greeners usai memberikan sambutan, Jakarta, Selasa (11/11).
Dalam kesempatan tersebut Kris juga menyampaikan bahwa Ahok telah meresmikan tanggal 11 November sebagai Hari Ciliwung. Namun, ia juga meminta bahwa peresmian ini harus membawa dampak positif bagi kelestarian Ciliwung dan bukan hanya menjadi perayaan semata.
Abdul Kodir, selaku Ketua dari Komunitas Ciliwung Condet, menerangkan, pada awalnya pengakuan Hari Ciliwung tersebut ditujukan sebagai bentuk apresiasi bagi mereka yang tinggal dan menggantungkan hidupnya pada Sungai Ciliwung. Termasuk dengan mereka yang bercocok tanam, memancing, ataupun melestarikan kebersihan dan keindahan Sungai Ciliwung sejak lama.
“Banyak yang harus diapresiasi dari Ciliwung. Namun, sampai sekarang hanya sedikit orang yang menyadari bahwa Ciliwung adalah situs yang harus diselamatkan. Sekarang, kalau ditanya, banyak yang masih tidak tahu yang mana itu Sungai Ciliwung,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kodir menceritakan kenapa tanggal 11 yang dipilih menjadi Hari Ciliwung. Saat itu, terangnya, tepat pada tanggal 11 bulan 11 tahun 2011 lalu, wargaTanjung Barat Selatan, Lenteng Agung, Jakarta menangkap seekor senggawangan atau bulus atau dalam bahasa latinnya Chitra chitra javanensis di Sungai Ciliwung yang masuk daftar terancam punah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Sebelum ditemukan, senggawangan tersebut dianggap mitos kalau hewan itu adalah siluman. Namun setelah tertangkap masyarakat menjadi tahu kalau senggawangan yang muncul di Sungai Ciliwung itu adalah hewan,” tuturnya.
Atas dasar penemuan itulah maka masyarakat yang peduli dengan konservasi Sungai Ciliwung menjadikan tanggal tersebut sebagai Hari Ciliwung dan menetapkan senggawangan tersebut sebagai maskot untuk mendukung konservasi Sungai Ciliwung.
“Penemuan senggawangan itu adalah momentum untuk peduli pada kegiatan konservasi sungai dan flora faunanya. Makhluk ini diharapkan menjadi simbol masih adanya sumberdaya alam hayati yang tersisa dan hewan langka yang tersisa,” katanya.
Nur Faizah, salah seorang warga Eretan Dua, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Keramat Jati, Jakarta Timur yang juga mengikuti perayaan Hari Ciliwung ketiga ini mengaku tidak berharap banyak dengan keadaan Ciliwung. Menurutnya, selama Sungai Ciliwung tidak menjadi lebih buruk sudah merupakan hal yang lebih baik bagi masyarakat.
“Kalau tidak bisa jadi lebih baik, paling tidak jangan malah semakin buruk deh mas,” tutupnya.
Sebagai informasi, saat ini, sumberdaya alam hayati di Ciliwung kian susut seiring rusaknya ekosistem Ciliwung. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 92 persen ikan Ciliwung telah punah dan sekitar 60 persen spesies mollusca dan crustacea juga telah menghilang.
(G09)