Jakarta (Greeners) – Sebagai negara rawan bencana, semua infrastruktur publik perlu adaptif dan tangguh terhadap bencana. Termasuk juga sekolah di Indonesia.
Baru-baru ini bencana banjir menelan korban jiwa. Tiga siswa di MTSN 19 Pondok Labu, Jakarta Selatan meninggal karena tembok sekolah jebol saat hujan deras mengguyur kawasan itu.
Sebelumnya, deretan berita tentang sekolah yang terdampak bencana juga kerap masyarakat dengar. Sebelumnya, dua atap ruang kelas SDN Bilebante, Jonggat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat ambruk pada 3 Juni lalu.
SDN Nongkodono, Kauman, Ponorogo tak kalah memprihatinkan karena dua kelas dalam kondisi lapuk roboh. Lalu dua ruang kelas dan perpustakaan di MTs Ar Ribathiyah, Lebak Banten sempat ambles di kedalaman 15 meter akibat hujan deras yang mengguyur.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijano menegaskan, pentingnya kesadaran dan kesiapan mitigasi bencana dari komponen sekolah.
“Sebagai wilayah rawan bencana, kita harus siap apabila nanti ada bencana datang. Dengan kesiapan itu maka kita akan sangat berhati-hati dalam membangun gedung sekolah,” katanya kepada Greeners, Minggu (9/10).
Akan sangat berisiko jika membangun sekolah di samping sungai karena rawan banjir. Perlu mematuhi aturan garis sepadan sungai.
“Masalahnya, masyarakat yang tinggal di bantaran kali di perkotaan kurang sadar akan risiko runtuhnya bangunan di sekitarnya,” ujar dia.
Ia menekankan konstruksi bangunan sekolah harus memenuhi berbagai persyaratan, termasuk tahan bencana alam. Rehabilitasi bangunan sekolah juga harus menjadi prioritas. Namun sayangnya, keterbatasan anggaran kerap menjadi kendala.
Penting Pendidikan Bencana Sekolah di Indonesia
Pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jejen Musfah menyatakan, pentingnya pendidikan kebencanaan untuk mengantisipasi kesiapan semua unsur sekolah saat terjadi bencana.
“Misalnya melalui radio, televisi hingga secara offline ke sekolah di satu wilayah agar mereka tahu apa yang harus mereka akukan saat bencana itu terjadi,” katanya.
Misalnya, para guru dan siswa harus menghindari ruangan kelas yang rusak saat proses belajar mengajar.
Ketua Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mendesak pemerintah agar tidak mengesampingkan bencana yang selama ini mengancam sekolah.
“Bukan seperti sekarang yang cenderung mengabaikan seakan tak ada ancaman apapun. Risiko bencana sudah diprediksi tapi belum ada mitigasi terstruktur dan sistematis,” kata dia.
Ia menilai sekolah, terutama madrasah belum banyak perhatian khusus. Padahal, masih banyak bangunan madrasah yang mengalami kerusakan baik ringan maupun berat.
Selain itu, masih banyak sekolah yang memang lokasinya di dekat persawahan atau daerah cekungan yang sangat rawan banjir dan mengalami korosi pondasi yang berakibat fatal.
Siswa dan Guru Berpotensi Jadi Korban
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyatakan, bencana alam, baik gempa hingga banjir yang terjadi saat jam belajar menimbulkan kerentanan siswa dan guru. Mereka berpotensi menjadi korban.
Ia menyatakan pentingnya standard operating procedure (SOP) kebencanaan khususnya di wilayah yang rentan banjir. “Maka SOP-nya harus ada evakuasi anak-anak harus naik ke lantai 2 atau 3 semuanya. Tidak ada yang boleh di lantai 1 apalagi di halaman sekolah bermain hujan karena akan sangat berisiko pada keselamatannya,” imbuhnya.
Warga sekolah sekolah juga perlu rutin mengikuti latihan evakuasi mandiri untuk antisipasi bencana. Hal yang juga penting, sekolah perlu memiliki jalur evakuasi.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin