Jakarta (Greeners) – Pakar Teknologi Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri mendorong produsen kemasan beralih membuat kemasan ramah lingkungan.
Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen harus mencakup semua kelompok produsen untuk berkontribusi terhadap sampah plastik kemasan. Termasuk kelompok pembuat kemasan plastik yang belum memiliki desain dan bahan kemasan ramah lingkungan.
“Kalau dilihat dari desain kemasan (yang kelompok pembuat kemasan plastik hasilkan), mereka ini paling bermasalah,” katanya kepada Greeners, Jumat (11/3).
Kelompok yang Enri maksud tersebut mengarah pada sektor manufaktur dan ritel skala menengah ke bawah yang turut berkontribusi terhadap sampah kemasan. “Kebijakan ini sulit menyasar pedagang kaki lima, warteg hingga warung-warung kelontong. Meski kontribusi mereka besar, kelompok ini sulit disasar,” ungkapnya.
Misalnya, kelompok tersebut masih kerap menggunakan single use plastic. “Berbeda hanya dengan manufaktur besar yang sudah pasti memperhatikan nama besarnya, termasuk dalam desain kemasan,” ujarnya.
Enri mengingatkan, agar produsen memperhatikan desain kemasan plastik sebelum akhirnya memproduksinya. Ia mendorong agar produsen plastik kemasan, terutama produsen skala menengah ke bawah untuk memastikan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan.
Produsen yang Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 maksud merupakan pembuat, pendistribusi dan pengimpor plastik kemasan.
Kewajiban Pengurangan Sampah Sebesar 30 % dengan Kemasan Ramah Lingkungan
Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ujang Solihin Sidik menyatakan, produsen harus melakukan kewajibannya, dalam pengurangan sampah sebesar 30 %. Periode pengurangan sampah tersebut dari tahun 2020-2029 dan ada evaluasi rutin kinerja masing-masing perusahaan.
Ujang meminta produsen memikirkan desain plastik kemasan yang mereka hasilkan. Salah satunya dengan memastikan desain kemasan berkelanjutan (sustainability design).
“Maka sudah memikirkan kemasannya agar tak jadi sampah. Harus berdesain agar bahannya bisa terurai alami, tidak hanya sekadar hancur saja di lingkungan,” imbuhnya.
Selain itu, produsen juga harus memastikan bahannya layak terdaur ulang dan menggunakan bahan baku produksi hasil berulang. Misalnya, ketika memproduksi satu kemasan produk, produk tersebut mengandung hasil-hasil daur ulang.
Upaya tersebut merupakan salah satu dari kewajiban produsen untuk mengurangi plastik dengan menerapkan prinsip 3R. R1 yaitu pembatasan timbulan sampah, R2 pendauran ulang sampah dan R3 pemanfaatan kembali sampah.
Ujang menegaskan, prinsip paling penting yang harus produsen pastikan yaitu kewajiban menarik kembali kemasan pascakonsumsi untuk mereka daur ulang. Nantinya bahan terdaur ulang ini menjadi bahan baku produk yang mereka gunakan.
“Ini menjadi sangat penting, karena di sinilah ujian sesungguhnya untuk post consumer packaging untuk mereka daur ulang,” ucapnya.
Sanksi Berupa Disintensif dan Administratif
Sebelumnya, inti dari Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 yaitu lebih menekankan pada dorongan KLHK agar para produsen berkomitmen dan bertanggungjawab atas sampah kemasan yang mereka hasilkan.
KLHK belum memberi sanksi pidana bagi produsen yang lalai terhadap sampah plastiknya. Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 secara bertahap menerapkan sanksi disintensif dan administratif.
“Kami belum melakukan punishment karena kami ingin mendorong mereka membangunkan komitmen, mengaktifkan komitmen mereka dulu untuk bertanggungjawab atas sampahnya,” tegasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin