Jakarta (Greeners) – Pemerintah Indonesia telah gencar menerapkan kebijakan untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik dan kantong plastik sekali pakai. Gerakan militan seperti zero waste maupun zero plastic agar beralih ke tas guna ulang dan sedotan berbahan metal juga telah banyak dikampanyekan. Namun, pemakaian keduanya sebagai alternatif pengurangan sampah dinilai tidak lebih baik dari plastik sekali pakai.
Hasil riset Humboldt State University mencatat, emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari produksi satu buah sedotan berbahan baja stainless sekitar 217 gram karbon dioksida (CO2). Sedangkan untuk sedotan plastik hanya sekitar 1.46 gram CO2. Riset tersebut menyimpulkan, jika seseorang membeli sedotan stainless untuk mengurangi sampah plastik, ia harus menggunakan sedotan tersebut sekitar 149 kali sehingga emisinya impas dengan satu sedotan plastik.
Baca juga: Pembukaan Lahan Ilegal di Habitat Satwa Liar Terus Terjadi
Manajer Komoditas dan Bisnis Berkelanjutan di World Resource Institute (WRI) Indonesia, Andika Putraditama, mengatakan, gerakan alternatif tanpa plastik yang beralih ke sedotan berbahan metal justru menimbulkan krisis iklim. Sebab, energi yang dibutuhkan untuk memproduksi sedotan stainless maupun totebag berbahan katun jauh lebih besar dibanding energi membuat plastik.
Menurutnya, kampanye pengurangan sampah plastik tanpa diiringi pengetahuan mengenai dampak alternatif, dikhawatirkan hanya membuta masyarakat terjebak pada tren baru belaka. Umumnya, kejadian tersebut berlangsung pada cara konferensi dengan membagikan suvenir maupun goodie bag berisi tumbler, sedotan stainless, atau tas berbahan katun.
“Niatnya bagus ingin mengurangi sampah plastik, tapi malah akhirnya meningkatkan emisi karbon. Karena mungkin satu orang sudah punya lebih dari tiga tas katun atau tumbler,” ujar Andika kepada Greeners, Rabu (06/05/2020).
Alternatif yang dapat dipilih, kata Andika, adalah dengan tidak memberikan suvenir sama sekali atau memakai barang yang sifatnya perishable atau yang bertahan lama seperti produk pertanian maupun hasil perhutanan sosial.
Penelitian dari Humboldt State University juga menyebut, emisi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu tas katun baru bisa dikatakan setara dengan sebuah kantong plastik sekali pakai jika pemakaiannya digunakan sebanyak 20 ribu kali.
Hal tersebut, kata dia, dikarenakan proses pembuatan suatu barang yang berbahan katun atau kapas menggunakan karbon secara intensif (carbon-intensive). Karena dari proses menumbuhkan tanaman kapas, irigasi, pemintalan, hingga transportasi, membutuhkan aktivitas yang melepaskan karbon.
Baca juga: Hari Migrasi Burung Dunia: Deforestasi dan Perburuan Ancam Spesies Burung Migran
Andika mengatakan bahwa solusi atas penggunaan sedotan besi dan tas non plastik berbeda dengan masalah gas rumah kaca. Pengurangan plastik sekali pakai seperti sedotan plastik dan kantong plastik merupakan masalah sampah atau limbah plastik yang tidak bisa diurai secara organik. Sedangkan masalah krisis iklim terjadi akibat kenaikan emisi gas rumah kaca yang berasal dari berbagai sumber. ”Salah satunya adalah produksi barang-barang yang kita gunakan sehari-hari,”ucapnya.
Menurut data Divers Clean Action (DCA), rata-rata setiap orang menggunakan sedotan sekali pakai sebanyak 1-2 kali setiap hari. DCA memperkirakan, pemakaian sedotan di Indonesia setiap hari bisa mencapai 93.244.847 batang. Sumbernya berasal dari restoran, minuman kemasan, dan sumber lainnya (packed straw).
Ia pun menekankan pentingnya menerapkan gaya hidup berkelanjutan dengan mengurangi pemakaian atau konsumsi. “Jika memiliki lebih dari 2 barang reusable (tumbler, sedotan stainless, tas katun), lebih baik segera dibagikan pada teman atau yang belum memiliki. Jangan sampai setiap kali belanja lupa membawa tas reusable, lalu beli lagi demi tidak menggunakan kantong plastik. Hal itu hanya akan menambah emisi saja,” ujarnya.
Menggunakan Produk Lokal
Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Rahyang Nusantara menuturkan, emisi yang dihasilkan dari produk guna ulang ini besar. Kalau hanya dilihat dari proses produksi saja, kata dia, pembuatan segala sesuatu dengan tujuan berulang kali pakai memang membutuhkan energi dan mengeluarkan emisi yang besar. Namun, bukan berarti produk sekali pakai lebih baik.
Sebagai contoh di Jakarta, kurang lebih setiap orang berusia produktif menggunakan 123 lembar kantong plastik per tahun dan 158 buah sedotan plastik per tahun. Hal ini tentu akan mengakibatkan pencemaran sampah plastik yang tinggi jika tidak dicegah.
Menurut Rahyang, karena penanganan sampah di Indonesia masih belum baik, disarankan untuk memakai tas yang telah dimiliki dan tidak membeli atau menerima produk maupun kemasan guna ulang demi mengurangi timbulan sampah. Selain tas guna ulang, banyak alternatif tas yang dapat digunakan, seperti kambuik (dari Sumatera Barat), Purun (dari Kalimantan), atau Noken (dari Papua) yang dibuat oleh tangan-tangan terampil penduduk lokal.
“Ini jauh lebih rendah energi dan emisi ketimbang plastik sekali pakai, juga menggerakkan ekonomi lokal,” ujar Rahyang.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani