Jakarta (Greeners) – Di Indonesia, satwa liar masih dijual bebas dan dipelihara sebagai hewan peliharaan. Spesies yang paling sering ditemukan merupakan satwa tidak dilindungi seperti Monyet Ekor Panjang (Macacca fascicularis) dan Beruk (Macaca Nemestrina). Padahal kedua jenis kera tersebut merupakan satwa liar yang harus hidup di alam bebas.
drh. Mariana Kresty Ferdinandez, Veterinary Care Coordinator, Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Welfare Advisor, Wildlife Detection Dogs mengatakan satwa liar tidak bisa dijadikan peliharaan. Alasannya menyangkut isu kesejahteraan hewan itu sendiri.
Misalnya pada bayi monyet ekor panjang, menurut Mariana, monyet membutuhkan pendampingan induk sejak bayi hingga usia 1,5 tahun. Seiring perkembangannya, monyet juga memerlukan peran kelompok untuk belajar mengenai tingkah laku. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, kata dia, satwa tersebut tidak sejahtera.
“Siklus primata sebagai hewan peliharaan semuanya dibeli saat bayi dan terlihat lucu. Namun setelah besar dan dewasa, ke mana primata? Ya, dikandangkan. Akhirnya satwa mengalami tingkah laku abnormal seperti menggigit badan sendiri, ” ujar dokter yang disapa Merry, pada Webinar Animal Welfare Aspect On Wildlife and Pets, Jumat, (24/04/2020).
Baca juga: Ancaman Mikroplastik Terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan
Memelihara satwa liar sebagai hewan peliharaan juga rawan memunculkan terjadinya konflik satwa dengan manusia. Menurut Merry, ketika satwa tumbuh dewasa, kekuatan yang dimiliki akan lebih besar sehingga dapat melukai pemilik atau orang di sekitarnya. Setiap hari, JAAN menerima laporan kasus konflik antara primata dengan manusia. “Hal ini seharusnya tidak terjadi kalau primata tidak dipelihara,” kata dia.
Selain itu, satwa yang dimiliki secara pribadi berkontribusi merusak ekosistem karena terjadi ketidakseimbangan di alam dan berdampak buruk terhadap habitatnya. Merry menuturkan, setiap hewan memiliki peran spesifik di ekologi masing-masing. Pada primata, misalnya, ia merupakan komponen penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan karena berfungsi sebagai penebar biji. Ia menyebut, banyaknya satwa yang menjadi albino merupakan indikator kerusakan lingkungan atau hutan. Sementara pada kera albino, hal itu merupakan tanda kecacatan genetik.
“Jadi, biarkan satwa di alam supaya alam tetap baik. Kita sama sekali tidak akan pernah memenuhi kebutuhan mereka. Argumentasinya tidak bisa disamakan dengan legal atau ilegal, tapi memelihara satwa liar itu kompleks sekali permasalahannya,” ucap Merry.
Zoonosis atau penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia dan sebaliknya juga dapat menyebabkan pandemi penyakit. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 35 persen zoonosis bersumber dari satwa liar. “Temuan JAAN (2013), dari 87 monyet ekor panjang eks topeng monyet, ditemukan 11,31 persen menunjukkan reaksi positif terhadap mammalian old tuberculine,” ujarnya.
Ia meminta pemerintah untuk menutup Pasar Burung, Pasar Hewan Jatinegara, maupun Pasar Burung Barito yang secara terang-terangan menjual kera ekor panjang maupun satwa liar lainnya. “Untuk masyarakat stop memelihara dan mengonsumsi daging satwa liar. Ketika kita memelihara satwa liar Anda sedang mendukung eksploitasi dan kepunahan satwa tersebut,” kata dia.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Aktivis Perlindungan Satwa Liar, Manohara Odelia Pinot. Ia menyampaikan banyak pemilik beralasan memelihara satwa liar untuk tujuan konservasi dan menyelamatkan dari perburuan ilegal maupun kerusakan hutan. Manohara menilai argumen tersebut justru menjadi bagian dari merusak ekosistem dan membahayakan spesies satwa yang dipelihara.
Baca juga: KLHK Sebut Memelihara Satwa Liar Harus Berizin
“Memelihara hewan bukan bagian dari konservasi, justru membuatnya lebih buruk. Kebanyakan satwa liar yang diambil atau ditangkap dari hutan itu untuk mengisi permintaan orang,” ujarnya.
Sementara itu, drh Rio Setiawan, MSc mengatakan kesejahteraan hewan menyangkut segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mentalnya. Hal itu didasarkan pada ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang.
“Ada lima konsep kesejahteraan hewan yang harus diperhatikan, yakni nutrisi, lingkungan, kesehatan, tingkah perilaku, dan kondisi kejiwaan. Jika kelima konsep tersebut tidak terpenuhi berarti tidak terjamin kesejahteraan hewannya,” ucap Rio.
Setiap hewan peliharaan, kata dia, perlu dijaga kesejahteraannya. Kelalaian pemeliharaan menyebabkan kesengsaraan terhadap hewan tersebut.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani