Banda Aceh (Greeners) – Tim dari Program Konservasi Orangutan Sumatera (Orangutan Conservation Programme / SOCP) berhasil menyita satu bayi orangutan (Pongo abelii) pada Selasa (19/2/2013) di Afdeling II perkebunan PT. Socfindo, Desa Sidojadi, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Penyitaan tersebut dilakukan setelah sebelumnya staf lapangan SOCP berhasil mencium informasi tentang bayi orangutan itu yang ditangkap pada Sabtu (26/1/2013) di daerah Suak Puntung, di dalam areal HGU perkebunan kelapa sawit milik PT Surya Panen Subur 2 (PT SPS-2), yang berlokasi di pinggiran hutan rawa gambut Tripa.
Dokter hewan SOCP, Ikhsani Surya Hidayat mengatakan, waktu disita bayi orangutan tersebut ditemukan dalam kondisi lemah karena kekurangan gizi dan mengalami dehidrasi. “Kami sudah memberi orangutan tersebut minum susu dengan takaran yang cukup. Jadi, dia kemungkinan dapat bertahan hidup,” kata Ikhsan dalam siaran pers bersama Yayasan PanEco (Swiss), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Medan.
Kronologis keberadaan bayi Orangutan berawal dari sekelompok nelayan setempat melihat seekor orangutan betina dewasa membawa bayi kecil jantan (berusia sekitar 1 tahun) terisolasi dan terjebak pada satu pohon, agak jauh dari pepohonan lainnya, sehingga mustahil bagi mereka untuk pergi tanpa turun ke tanah di dekat para nelayan itu.
Mereka memutuskan untuk mencoba menangkap bayi Orangutan untuk dijual. Bayi Orangutan bisa didapatkan dari induknya yang berhasil melarikan diri setelah dipukuli oleh para nelayan tersebut. Mereka menjual bayi orangutan tersebut dengan harga hanya Rp100.000,- kepada seorang mantri kesehatan setempat yang bekerja pada perusahaan kelapa sawit terdekat yaitu PT Socfindo. Mantri tersebut tinggal di komplek perumahan perkebunan itudi Abdeling II, Desa Sidojadi.
Setelah berada di rumah mantri kesehatan tersebut, staf SOCP mengalami kesulitan memantau “peliharaan” baru mantri ini karena memang ditempatkan di dalam kandang berdinding seng di belakang rumah supaya tidak terlihat orang. Bayi orangutan tersebut terlihat orang ketika pintu kandang sedang terbuka pada saat memandikan orangutan.
Sedangkan Direktur SOCP Dr Ian Singleton mengatakan penyitaan bayi Orangutan illegal itu dapat memberikan kesempatan kedua untuk hidup lama di alam liar. Bayi Orangutan itu direncanakan dikembalikan ke alam liar di hutan yang lebih aman di bagian paling utara Aceh.
“Ini merupakan kasus yang jarang terjadi dimana induk bayi orangutan selamat, tapi ironisnya, dia tidak mungkin bertahan lama lagi di habitatnya. Padahal, dia jelas tergantung pada daerah di mana hutannya sedang dibersihkan dan sebagian besar dari jangkauan huniannya mungkin sudah hancur, maka ia ditemukan di sebuah pohon yang terisolasi, dan tidak di hutan yang baik. Dengan tinggal di sana, prospek untuk hidup sebenarnya lebih buruk daripada bayinya yang ditangkap,” Ian yang juga Direktur Konservasi, Yayasan Ekosistem Lestari.
Sedangkan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Amon Zamora mengataka membunuh, menangkap, memperdagangkan atau mememelihara orangutan sebagai hewan peliharaan merupakan tindakan melawan hukum, dimana pelakunya bisa dihukum sampai 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Dia mengingatkan bahwa memelihara orangutan itu tidak baik bagi orangutan dan juga tidak baik bagi manusia itu sendiri.
“Bagi saya, hal yang utama adalah bahwa kita harus menghindari kepunahan orangutan sumatera karena populasinya sekarang sangat sedikit. Anak dan cucu kita juga harus memiliki kesempatan untuk melihat orangutan di alam,” katanya.
SOCP merupakan program kolaboratif yang melibatkan PanEco Foundation, Yayasan Ecosistem Lestari dan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sampai saat ini SOCP telah mengembalikan ke alam liar lebih dari 180 orangutan tangkapan ilegal dan menyelamatkan sejumlah orangutan melalui pemindahan dari satu tempat ke tempat lainnya yang lebih aman bagi orangutan. (G011)