Dengan cekatan ia panjat pohon itu. Berbekal linggis dan batu, dicabutinya paku-paku berkarat yang sudah lama tertanam di sana. Dalam hitungan menit, puluhan paku terkumpul dalam genggamannya.
Oleh: Arya Fajar | Artikel ini diterbitkan pada edisi 02 Vol. 4 Tahun 2010
Pohon Mahoni setinggi sepuluh meter itu ialah salah satu pohon yang kerap kali ia sambangi setiap satu kali dalam seminggu. Pohon itu terletak di jalan Ganeca. Di pohon itu selalu saja ada paku yang menancap. Penyebabnya banyak, mulai dari iklan-iklan gelap sampai mitos agar pohon itu tidak menjadi sarang kuntilanak. Itu menurut pengakuannya.
Namanya Sariban. Setiap hari ia berkeliling kota Bandung. Ia punya satu misi, yaitu menjadikan Bandung sebagai kota yang bersih dan nyaman. Topi caping, seragam berwarna kuning lengkap dengan emblem kota Bandung dan sepatu kulit adalah atribut yang selalu ia kenakan. Berbagai macam peralatan, seperti linggis, parang, perlengkapan P3K, sapu lidi, serukan, dan sebuah toa menjadi senjata andalannya ketika bekerja. Tak ketinggalan sepeda onthel kesayangannya yang selalu menemani ke mana saja ia bepergian. Setiap hari, setiap pagi.
Pukul empat pagi adalah waktu ia mulai membuka mata. Diambilnya air wudlu untuk kemudian bergegas ke masjid terdekat untuk shalat subuh. Setelah itu ia mulai menyapu seisi rumah dan menyiram tanaman di halaman. Pukul tujuh, meja makan menunggunya untuk sarapan di mana sang istri telah menyiapkannya. Diambilnya roti dan teh manis, diiringi suasana hangat, bahasa yang renyah dan penuh humor. Satu jam setelahnya barulah ia bersiap-siap untuk memulai aktivitasnya.
Relawan Lingkungan dan Penyuluh Kebersihan
Di lingkungan rumahnya Sariban dikenal sebagai relawan lingkungan dan penyuluh kebersihan. Tak heran warga sudah tahu betul aktivitasnya setiap pagi. Lewat toa yang selalu dibawanya, warga selalu diingatkan untuk menjaga kebersihan, dimulai dari yang terkecil seperti membuang sampah pada tempatnya. Baru setelah itu ia punguti sampah-sampah yang tercecer di sekitar lingkungan tempat tinggalnya dan mengambil kantong-kantong sampah di setiap rumah warga.
Sariban tak pernah menargetkan berapa jauh jarak yang ditempuh setiap hari untuk membersihkan lingkungan. Semua diserahkan kepada kebugaran tubuhnya. Pernah dalam satu hari ia sampai menjelajah ke kawasan Buahbatu, yang mencapai jarak 15 km dari rumahnya. Pernah pula ia hanya mencapai jalan Diponegoro yang berjarak 5 km.
Paku, pamplet, dan sampah adalah benda yang biasa ia bersihkan. Namun diantara semuanya, pakulah yang paling sering ia bersihkan. Ada satu pohon di jalan Ganeca yang paling membuatnya terkejut. Bagaimana tidak, di pohon itu ia pernah mencabuti 115 paku.
Kedua setelah itu, di belakang Gedung Sate ia mencabut sebanyak 65 paku. Kedua pengalaman itu semakin membuatnya bersemangat. Maka ia terus mencabuti paku setiap hari. Dalam tempo sebulan telah terkumpul 15 kg paku yang sampai sekarang ia simpan di rumahnya.
“di pohon itu ia pernah mencabuti 115 paku”
Kebiasaan Yang Berawal Dari Mimpi
Kebiasaan Sariban mencabuti paku berawal dari pekerjaannya di Rumah Sakit Mata Cicendo sebagai pemelihara lingkungan pada tahun 1972. Di tempat inilah ia mengalami peristiwa menarik yang membuatnya berubah. Semua berawal dari mimpi.
Alkisah Sariban muda bermimpi melihat pohon berdarah dan menangis karena tubuhnya dipenuhi paku yang menancap. Seketika ia terbangun dari mimpinya dan terus teringat akan mimpi tersebut. Akhirnya selepas kerja pukul 14.00, di sepanjang jalan menuju rumahnya yang berjarak 6 km, setiap pohon ia datangi hanya untuk mencabut pakunya. Begitu setiap hari. Sedangkan kecintaanya terhadap lingkungan berawal dari kebiasaan keluarganya di desa.
Sebetulnya Sariban merupakan pendatang di kota Bandung. Ia datang dari sebuah kota kecil di Jawa Timur, Magetan. Di desa, setiap anggota keluarganya diharuskan untuk bersih-bersih setiap pagi. Dari desanya itulah kebiasaan tersebut terbawa sampai saat ini. Ia pertama kali datang ke Bandung pada tahun 1963, setelah sebelumnya menetap di Madiun. Namun meskipun pendatang, tak perlu diragukan lagi kecintaanya terhadap kota ini.
Kebersihan sebagian dari iman, adalah alasan mengapa ia bertahan dengan aktivitasnya dari dulu. Ridho dan ikhlas adalah kunci dalam melakukannya. Kepuasan batin menjadi sesuatu yang tak ternilai dengan uang ketika Sariban melihat sesuatu dihadapannya bersih, walau pada awalnya banyak peristiwa pahit yang ia alami. Disangka tidak waras oleh masyarakat sekitar, juga oleh istri dan keempat anaknya.
Pernah ketika selepas pensiun tahun 1999, ia pulang ke rumah terlalu larut sehabis mencabuti paku. Sang istri, Supinah, menduga ada yang tidak beres dengan tingkah suaminya yang belakangan ini yang sering pulang larut malam. Karena takut, Supinah enggan membukakan pintu untuk Sariban.
“Sariban mempunyai harapan agar pengenalan lingkungan diberikan sejak usia dini”
Pepatah Jawa
Nandur pari jero. Memetik perbuatan baik selalu membutuhkan waktu. Pepatah Jawa itu terasa pas dengan apa yang dialami Sariban. Berkeliling Bandung hanya untuk membersihkan sampah dan mencabuti paku dilakoninya dari tahun 1972 dan penuh dengan berbagai macam peristiwa pahit dan manis.
Pada tahun 2001, atas prakarsa Dinas Kebersihan Kota Bandung, Sariban dikirim ke Singapura untuk studi komparatif masalah kebersihan di negara itu. Tak lupa sepeda onthel kesayangannya pun ia boyong kesana.
Puncaknya Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan memberikan hibah kepadanya untuk menunaikan ibadah haji di tahun 2005. Sayang sepulangnya dari sana, kabar duka menyambut. Sang istri meninggal dunia akibat kanker yang dideritanya.
Kini di usianya yang ke-65 , Sariban mempunyai harapan agar pengenalan lingkungan diberikan sejak usia dini melalui sekolah-sekolah sebagai basis penyadaran bagi masyarakat. Selain itu ia juga berharap agar seluruh lapisan masyarakat aktif bersama-sama dalam menjaga kelestarian lingkungan agar bumi yang kita tinggali lebih baik. (end)