Sanitasi dan Lingkungan Buruk Tingkatkan Resistensi Antimikroba

Reading time: 2 menit
Lingkungan kotor membuat manusia rentan terinfeksi. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – World Health Organization (WHO) menyebut, infeksi oleh bakteri patogen antimicrobial resistance atau resistensi antimikroba (AMR) adalah salah satu dari 10 ancaman kesehatan global.

Banyak faktor penyebabnya, buruknya sanitasi dan air bersih hingga polusi lingkungan. Infeksi AMR diperkirakan menyebabkan lima juta kematian pada tahun 2019.

AMR adalah kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, fungi dan parasit menjadi resisten atau kebal terhadap antimikroba (antibiotik, antivirus, antifungal, antiparasit) yang sebelumnya efektif untuk mencegah atau membunuh mikroorganisme tersebut.

Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Elisabeth Farah Coutrier mengungkapkan, AMR terjadi karena penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan. Selain itu sanitiasi dan kekurangan air bersih, pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak tepat, migrasi manusia dan hewan yang terinfeksi bakteri AMR, polusi lingkungan dan sampah pertanian juga jadi penyebabnya.

“Riset dan inovasi terkait penanganan dan strategi pengendalian AMR di Indonesia terus dilakukan di Pusat Riset di Lingkungan Organisasi Riset Kesehatan,” katanya dalam sebuah di focus group discussion baru-baru ini di Jakarta.

Kepala Organisasi Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indi Dharmayanti menambahkan, Kementerian Kesehatan telah merumuskan pengendalian AMR melalui pendekatan one health. Pengendalian AMR juga membutuhkan peran berbagai pihak.

“Pendekatan ini merupakan pendekatan komprehensif melalui kesehatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan dalam satu kesatuan yang saling memengaruhi,” ucapnya.

Resistensi Antimikroba Terus Mengancam

Dosen Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Iftita Rahmatika mendorong, segeranya monitoring AMR di lingkungan.

“Dengan adanya monitoring AMR pada lingkungan, kita bisa memprediksi di mana spot AMR yang berpotensi memaparkan ke manusia dan hewan. Langkah ini juga bisa mengeliminasi AMR di lingkungan,” ungkapnya.

Upaya ini merupakan intervensi mengendalikan AMR di sungai, air tanah, dan instalasi pengolahan air limbah. Walaupun pengawasan di Indonesia masih terbatas, tetapi saat ini rencana aksi nasional terkait AMR telah dikembangkan.

Saat ini tercatat sebanyak 2 miliar orang masih terkontaminasi air dari feses. Di dalam feses ini banyak bakteri patogen, bakteri resisten antibiotik (ARB), dan gen resisten antibiotik (ARG). Penyakit tersebut menyebabkan diare karena bakteri Escherichia coli (E. coli) yang resistens dari antibiotik.

Potret lingkungan dengan sanitasi yang buruk tabung potensi penyakit. Foto: Shutterstock

Penyebaran Bakteri E. coli

WHO mencatat beberapa mikroorganisme patogen telah mengalami resistensi. Salah satunya E. coli. Berdasarkan hasil penelitian Iftita, E. coli masih banyak peneliti temukan di sungai, animal waste water, instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dan air tanah.

“Kami tetap menemukan E. coli di sungai dan IPAL. Walaupun kami menemukan reduksi dari E. coli tapi ini masih ditemukan di air buangan dan tidak bisa 100% mengurangi E. coli,” ungkap Iftita.

Bakteri E. coli banyak ditemukan pada IPAL di rumah sakit. Kemudian, Iftita telah meneliti lima sumur warga dan sebagian besar masih terkandung bakteri E. coli. Semestinya bakteri E. coli ini harus nihil, nyata masih ada di air tanah yang berdampak bagi kesehatan manusia.

Penulis : Dini Jembar Wardani

Editor : Ari Rikin

Top