Saatnya Pemerintah Mengurangi Subsidi BBM Dan Kembangkan Energi Terbarukan

Reading time: 2 menit

Jakarta (Greenersmagz) – DPR RI telah menyetujui penambahan kuota BBM bersubsidi untuk 2012 sebesar 4 juta kiloliter, sehingga proyeksi total konsumsi BBM bersubsidi sepanjang 2012 menjadi 44 juta kiloliter. Jumlah tersebut menghabiskan APBN untuk subsidi sebesar Rp219 triliun. Dana subsidi tersebut lebih besar dibandingkan subsidi untuk pendidikan, pertahanan, kesehatan dan perlindungan sosial.

Koordinator Asia Timur 350.org, Rully Prayoga menyarankan pemerintah untuk serius dalam mengurangi subsidi BBM, karena dana subsidi sebesar itu dapat digunakan untuk sektor yang lebih nyata dan berguna, dibandingkan untuk BBM yang bakal menghilang berubah menjadi emisi karbondioksida yang bisa mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Rully mengatakan subsidi BBM mengakibatkan harga BBM yang relative murah menyebabkan pola konsumsi energi yang tidak efisien dan meningkatkan kadar emisi karbon dengan cepat. “Solusi energi tanpa subsidi adalah mempercepat pembangunan energi bersih terbarukan dan berkelanjutan,” katanya dalam diskusi 350.org di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta pada Senin (15/10).

Indonesia mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, mulai dari angin, air, sinar matahari sampai panas bumi. Bahkan, potensi panas bumi sebesar 28 Gigawatt menjadikan Indonesia negara terbesar potensi panas bumi tersebut. “Potensi panas bumi sekitar 28 gigawatt – baru dimanfaatkan sebesar 4%. Target kebijakan energi nasional 17% energi terbarukan dalam bauran energi nasional masih jauh dari realisasi,” katanya.

Rully melihat pemerintah telah mempunyai roadmap pengembangan energy terbarukan, akan tetapi lemah dalam implementasi.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti dari International Institute for Sustainable Development (IISD), Lucky Lontoh mengatakan subsidi energi dalam RAPBN 2013 yaitu Rp194 triliun, yang lebih besar dibanding masing-masing subsidi pertahanan (Rp78 triliun), pendidikan (Rp109 triliun), kesehatan (Rp17 triiun),dan perlindungan sosial (Rp7 triliun). Dibandingkan negara lain,   subsidi energy Indonesia menjadi kedelapan terbesar didunia setalah Iran, Arab Saudi Rusia, India, China , Mesir dan Venezuela (data tahun 2008).  Indonesia juga menjadi negara pemberi subsidi energy terbesar bila dibandingkan dengan per kapita dan GDP, dibanding India dan China.

Lucky melihat konversi BBM bersubsidi ke BBG sektor transportasi terkendala pada beberapa hal seperti    hambatan pada pasokan gas, system pengisian BBG di SPBG menggunakan teknologi slow fill sehingga membutuhkan waktu lama, ketersediaan spare kit converter yang masih langka, bengkel dan teknisi yang masih sangat sedikit, dan kurangnya sosialisasi program konversi ini kepada masyarakat.

Dia menyarankan beberapa hal kepada pemerintah, seperti perlu ada perbaikan dalam komunikasi publik pemerintah mengenai kebijakan reformasi subsidi energy, penanggulangan kelemahan dalam perencanaan dan pelaksanaan melalui sistem pengawasan dan penanganan keluhan yang pro-aktif dan kepemimpinan pemerintah yang jelas.

Diskusi yang diselenggarakan 350.org ini juga dilakukan di Surabaya pada pekan sebelumnya, Selain Rully Prayoga dan Lucky Lontoh, juga hadir Yayasan Institute Indonesia untuk Ekonomi Energi, Dr Asclepias R.S. Indiyanto yang mengatakan  pemerintah perlu menyusun konsep security energy dengan memperbanyak penelitian dan berbagai inovasi serta terus dikembangkan untukn mengembankan energy terbarukan.  Ini, menurutnya, merupakan tanggung jawab baru dan kompleks yang harus dihadapi pemerintah.

Khususnya terkait kegiatan yang berimbas kepada kondisi infrastruktur, perdagangan, harga dan daya beli, hingga pengembangan dan aplikasi teknologi yang tepat guna. Sementara, untuk memastikan penggunaan energy yang stabil yang berdampak pada penggunaan efisien, pemerintah harus melihat sistem tersebut dari semua sisi. Artinya, bukan dari sisi pasokan dan penggunaan saja.

“Pemerintah juga perlu melakukan perhitungan secara simultan baik di internal maupun eksternal memposisikan diri sebagai Negara pengekspor maupun impor energi. Karena energy terbarukan sudah menyebar dan ada dimana-mana. Kalau bisa jangan sampai impor lagi dan kita harus bisa mapping energy terbarukan. Peran serta stakeholder juga perlu dilibatkan,” ungkapnya. (G02/G25)

Top