Jakarta (Greeners) – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menolak usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing. Yayasan JAAN Domestic Indonesia menilai larangan perdagangan itu menunjukkan inkonsistensi dalam penerapan hukum yang ada. Hal ini juga mengesankan adanya pengabaian terhadap upaya global untuk memberantas rabies yang ditularkan oleh anjing pada tahun 2030.
Direktur JAAN Domestic, Merry Ferdinandez, mengungkapkan penolakan usulan larangan perdagangan daging anjing dan kucing memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Terutama, dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat.
“Penolakan ini menunjukkan adanya urgensi mendesak untuk mengevaluasi dan memahami lebih dalam implikasi kebijakan tersebut,” kata Merry melalui keterangan tertulisnya pada Selasa (19/11).
Meskipun ada dukungan terhadap pengesahan RUU tentang Larangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, namun ada pasal yang dihapus. Pasal tersebut secara eksplisit melarang pengadaan, perdagangan, dan penyembelihan anjing serta kucing untuk konsumsi manusia.
Penolakan larangan ini mengabaikan sejumlah pertimbangan penting. Terutama terkait dengan risiko zoonosis yang tinggi dan kontribusinya dalam penyebaran rabies–penyakit yang masih menjadi endemik di 26 provinsi Indonesia.
BACA JUGA: Lembaga Pecinta Hewan Galang Petisi Ilegalkan Konsumsi Daging Anjing
“Penting untuk diingat bahwa yang diajukan adalah pelarangan perdagangan daging anjing dan kucing yang terkait erat dengan risiko kesehatan publik,” tambahnya.
Merry menambahkan, menolak larangan ini berarti mengabaikan kekejaman yang melekat dalam perdagangan daging anjing dan kucing. Selain itu, risiko kesehatan masyarakat juga terabaikan.
Perdagangan tersebut sering kali memfasilitasi penularan penyakit seperti rabies. Penyakit itu tidak hanya membahayakan kesehatan manusia, tetapi juga menurunkan kualitas kesejahteraan hewan.
“DPR RI perlu mengevaluasi kembali dan mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari kebijakan ini terhadap kesehatan publik dan kesejahteraan hewan,” ungkap Merry.
Usulan Koalisi DMFI
Sementara itu, Baleg DPR RI kini sedang membahas penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2025-2029 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025. Di tengah pembahasan itu, Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) mengajukan tiga rancangan aturan kepada DPR RI.
Tiga aturan tersebut meliputi RUU Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, peraturan pemerintah untuk melarang perdagangan daging anjing dan kucing, serta peraturan presiden untuk membentuk satuan tugas untuk menangani rabies yang mematikan.
Pada Senin 11 November, JAAN Domestic atas nama Koalisi DMFI telah mengajukan usulan RUU itu ke DPR. Kemudian, pada Senin 18 November, salah satu anggota DPR Firman Soebagyo menolak usulan RUU tersebut.
BACA JUGA: Jutaan Orang Tandatangani Petisi untuk Hentikan Festival Daging di Yulin
“Tentunya kami DPR mendengarkan aspirasi masyarakat sepeti NGO-NGO yang menyampaikan. Namun, tidak serta-merta usulan NGO itu harus kami terima dan kami masukkan long list,” ujar Firman.
Dalam rapat panitia kerja (panja) tersebut, Firman menekankan pentingnya rasionalitas dalam pembuatan undang-undang ini. Ia juga menyoroti bahwa Indonesia dengan keberagaman dan kebinekaannya memiliki beberapa daerah tertentu yang masih mengonsumsi daging anjing.
Perdagangan Ilegal Kejam
Baru-baru ini, Koalisi DMFI terlibat dalam upaya pencegahan perdagangan ilegal 64 anjing. Dalam perdagangan itu, anjing-anjing tersebut dibawa dari Bali ke Pelabuhan Banyuwangi di Jawa Timur untuk memenuhi permintaan daging anjing di Kota Solo, Jawa Tengah.
Koalisi ini menyoroti jalur perdagangan ilegal yang kejam. Status penyakit dan vaksinasinya tidak teridentifikasi, serta pedagang memperdagangkan anjing-anjing tersebut melintasi batas provinsi. Anjing-anjing tersebut ditemukan dalam kondisi yang sangat buruk setelah diperdagangkan selama berhari-hari.
Maka dari itu, sangat penting adanya undang-undang yang lebih kuat untuk melindungi kesehatan manusia dan hewan dari penyalahgunaan dan eksploitasi. Saat ini, banyak negara sudah bertindak untuk mengakhiri perdagangan ini. Hal itu baik dengan alasan kesejahteraan hewan maupun untuk mengendalikan penyebaran penyakit mematikan seperti rabies.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Edit0r: Indiana Malia