Jakarta (Greeners) – RUU Cipta Kerja mengurangi empat undang-undang penting terkait sektor pangan. Empat di antaranya, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Undang-Undang Nomor 13 tentang Hortikultura.
Melalui panel Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (DSB WTO), Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Brazil menganggap keempat undang-undang tersebut menghambat ekspor ke Indonesia. Aturan impor di Indonesia masih dibatasi pada saat panen raya. Termasuk ketika kebutuhan pangan dalam negeri masih terpenuhi oleh produksi maupun cadangan pangan nasional. Bagi negara-negara tersebut hal ini dianggap bertentangan dengan ketentuan WTO yang mengharuskan Indonesia agar lebih longgar terhadap kebijakan impor pangan.
Ketiga negara tersebut juga menuntut beberapa pasal di keempat materi perundang-undangan yang memiliki frasa dalam negeri. Pada 18 Maret 2015, Selandia Baru dan Amerika Serikat menggugat Indonesia karena menerapkan kebijakan impor yang tidak sesuai dengan aturan WTO. Pemerintah diminta untuk membentuk panel sesuai dengan Pasal 6 dalam Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT). Isinya memuat 18 langkah yang diberlakukan Indonesia mengenai pembatasan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan.
Hingga pada 2 Agustus 2018, Amerika Serikat memenangkan gugatan dan menuntut Indonesia membayar kerugian perdagangan Amerika Serikat. Jumlahnya mencapai US$350 juta pada 2017 dan akan diperbarui setiap tahun sesuai dengan perkembangan ekonomi Indonesia. Pemerintah, menurut AS, dianggap gagal mematuhi rekomendasi dari DSB WTO hingga batas waktu yang telah ditentukan.
Staff Advokasi Yayasan Bina Desa Lodji mengatakan untuk menjawab gugatan itu pemerintah Indonesia hanya mencari advokat. Menurutnya, tidak ada manuver yang jelas dari pemerintah untuk menghadapi klaim tersebut. Hingga akhirnya muncul RUU Cipta Kerja yang diketahui sebagai konfirmasi atas persoalan di WTO dan jawaban terhadap gugatan AS.
“Empat UU yang dipermasalahkan di WTO masuk ke dalam Omnibus Law. Ini akan melonggarkan aturan impor pangan kita,” ujar Lodji, di Cikini, Jakarta, Kamis, (12/03/2020).
RUU Cipta Kerja mengubah sejumlah pasal dalam UU Pangan. Misalnya mengenai syarat dan kondisi impor pangan, itu harus disesuaikan dengan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Namun, di RUU Sapu Jagat hal tersebut dihilangkan sehingga kedudukan pangan impor menjadi setara dengan pangan hasil produksi dalam negeri maupun cadangan pangan nasional.
Lodji menuturkan Pasal 101 dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang berisi ancaman pidana bagi pelaku usaha yang mengimpor produk pertanian pada saat kebutuhan konsumsi dalam negerti tercukupi, juga dihapuskan.
“Jadi kalau RUU Cipta Kerja disahkan kita tidak bisa protes soal impor yang melebihi kapasitas. Dan terancamnya para petani lokal karena harus bersaing dengan produk luar negeri yang tidak terkontrol jumlahnya,” ujar Lodji.
Keran Impor Pangan Makin Deras
Seiring dibukanya impor pangan yang semakin lebar, ketentuan mengenai keamanan pangan impor juga akan dihapuskan. RUU Cipta Kerja akan merevisi Pasal 87 UU Pangan. Salah satunya dengan menghapus ketentuan pangan yang harus melalui uji laboratorium sebelum diedarkan. Akibatnya, pangan yang akan dikonsumsi masyarakat semakin tidak terjamin keamanan dan mutunya.
Adi Wibowo, perwakilan FIAN Indonesia mengatakan upaya pelonggaran impor akan menjadi ancaman serius bagi kedaulatan pangan nasional. Sebab, dapat meminggirkan para produsen lokal terutama petani kecil karena tidak ada kepastian perlindungan untuk petani.
“Pada akhirnya produksi pangan menghilang dan sistematis impor akan datang, serta menghancurkan kemampuan kita memenuhi pangan di sektor petanian,” ujar Adi.
Menurut data Badan Pusat Statistik mengenai sensus pertanian tahun 2018, total jumlah rumah tangga petani di Indonesia mencapai 27.682.117. Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional khusus beras, 96 persen dipasok petani kecil sebanyak 4.498.332 hektar.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani