Jakarta (Greeners) – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengubah banyak sekali undang-undang sektoral. Penyederhanaan kebijakan ini disebut dapat menyelesaikan tumpang tindih peraturan terkait pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat maupun hak tradisionalnya. Tuduhan masyarakat adat sebagai penghambat investasi juga diharapkan dapat dihapus dari undang-undang sebelumnya.
Namun, RUU ini dikritik oleh organisasi masyarakat sipil lantaran di tengah proses perumusannya melupakan hak masyarakat adat. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) menilai RUU Cipta Kerja merupakan usaha memudahkan investasi dengan mengabaikan perlindungan hidup dan hak asasi manusia termasuk hak masyarakat hukum adat. Nadya Demadevina Koordinator Riset Perkumpulan HuMa Indonesia mengatakan omnibus law tidak menyelesaikan peraturan yang tumpang tindih dan bersifat sektoral.
Baca juga: RUU Omnibus Law Mengancam Sektor Lingkungan Hidup
“Ketidakjelasan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Indonesia menyebabkan masyarakat rentan menjadi korban perampasan tanah,” ujar Nadya Demadevina Koordinator Riset Perkumpulan HuMa Indonesia, di Jakarta, Selasa (10/03/2020).
RUU Sapu Jagat ini pun menetapkan pengakuan bersyarat bagi masyarakat hukum adat. Menurut Dema penetapan masyarakat hukum adat sesuai ketentuan perundang-undangan tidak akan memperjelas pengakuan. Karena persoalan utama berkaitan dengan pengakuan bersyarat.
Masyarakat hukum adat akan diakui secara hukum jika memenuhi ketentuan prosedural dan substantif. Secara prosedural ketentuan pengakuan masyarakat hukum adat harus melalui produk hukum. Sedangkan syarat substantif menuntut mereka agar wajib memiliki kelembagaan.
“Pengakuan dengan syarat prosedural dan substantif mempersulit masyarakat hukum adat untuk menikmati hak-hak tradisionalnya. Padahal UUD 1945 mencita-citakan agar masyarakat hukum adat dapat menikmati hak-hak tradisionalnya,” ujar Pakar Hukum Adat Universitas Gadjah Mada, Dr. Rikardo Simarmata.
Dalam RUU Cipta Kerja ini juga menyebutkan 23 frasa masyarakat hukum adat, 5 frasa masyarakat adat, 5 frasa masyarakat lokal, 6 frasa masyarakat tradisional, 10 frasa kearifan lokal, 3 frasa hak ulayat, 2 frasa hak tradisional, 2 frasa wilayah adat, 2 frasa wilayah kelola masyarakat hukum adat, 1 frasa desa adat, 4 frasa tanah hak ulayat, 2 frasa tanah ulayat, 1 frasa lahan hak ulayat, 1 frasa tanah milik adat, 1 frasa hak milik adat, 1 frasa kawasan adat, dan 3 frasa bangunan gedung adat.
Erwin Dwi Kristianto Deputi Riset dan Advokasi Perkumpulan HuMa Indonesia mengatakan frasa wilayah adat dalam RUU CK hanya disinggung sebatas hubungannya dengan investasi. Sedangkan hak-hak lain diatur sangat sempit.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat Tersendat
Ia mencontohkan frasa kawasan adat yang berkaitan dengan penataan ruang. Menurut Erwin, frasa tersebut tidak mengatur kewenangan masyarakat hukum adat dalam kawasan adat. Otoritas penataan ruang merupakan ranah pemerintah. Sedangkan kedudukan masyarakat hukum adat di kawasan adat lebih bersifat pasif.
“Pengaturan hak ulayat di RUU Cipta Kerja berkaitan dengan penggunaan tanah untuk investasi. Ketidakjelasan aturan mengenai hak ulayat malah akan memudahkan perampasan wilayah adat demi kemudahan investasi,” ujar Erwin.
Dr. Kurnia Warman Pengajar Hukum Adat Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat mengibaratkan RUU Sapu Jagat sebagai bus raksasa yang membawa penumpang dengan tujuan sama. Namun, jika ada penumpang dengan tujuan berbeda dianggap sebagai penghambat dan akan ditinggalkan. Menurut Kurnia perumpamaan tersebut serupa dengan posisi lingkungan hidup termasuk masyarakat adat yang dianggap menghambat RUU Cipta Kerja ini.
“Dari aspek hukum, masyarakat hukum adat tidak menjadi sasaran RUU Cipta Kerja ini bahkan posisinya menjadi rumit,” ujar Kurnia.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani