Riset: Warga Indonesia Paling Banyak Mengonsumsi Mikroplastik

Reading time: 3 menit
Riset menyebut bahwa warga Indonesia paling banyak mengonsumsi mikroplastik. Foto: Freepik
Riset menyebut bahwa warga Indonesia paling banyak mengonsumsi mikroplastik. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Indonesia, Malaysia, dan Filipina menduduki peringkat teratas dalam daftar konsumsi mikroplastik per kapita global. Penemuan itu berdasarkan hasil riset yang terbit dalam jurnal Environmental Science & Technology.

Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi sekitar 15 gram mikroplastik per bulan. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan negara lain yang sebagian besar partikel plastik berasal dari sumber air seperti makanan laut. Jumlah tersebut juga meningkat 59 kali lipat selama tahun 1990 hingga 2018.

Sementara itu, riset ini menunjukkan bahwa Tiongkok, Mongolia, dan Inggris menduduki peringkat teratas dalam daftar negara-negara yang paling banyak menghirup mikroplastik. Studi oleh peneliti Cornell University, Fengqi You ini telah memetakan serapan mikroplastik di 109 negara.

BACA JUGA: BRIN dan KIOST Jalin Kerja Sama Riset di Bidang Maritim

Peneliti Mikroplastik Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), Rafika Aprilianti mengatakan bahwa penemuan ini menjadi kabar yang mengejutkan. Namun, berdasarkan penelitian yang sudah tim Ecoton lakukan, sudah banyak objek biologi seperti air, udara, sedimen, biota ikan udang, dan lainnya yang terkontaminasi mikroplastik dengan jumlah berbeda.

“Mikroplastik sudah mengelilingi kita. Meskipun masih ada air yang ketika kami teliti tidak tekontaminasi mikroplastik, yaitu air dari mata air di Wonosalam, Jombang,” ucap Rafika kepada Greeners, Selasa (25/6).

Penelitian Memperkirakan Jumlah Mikroplastik

EurekAlert melansir bahwa penelitian yang terbit dalam jurnal Environmental Science & Technology ini berdasarkan pada model data yang sudah ada. Penelitian memperkirakan jumlah mikroplastik yang secara tidak sadar termakan dan terhirup oleh manusia. Mikroplastik tersebut timbul akibat dari sampah plastik yang tidak terolah, terurai, hingga menyebar ke lingkungan.

Studi Cornell memperhitungkan kebiasaan makan setiap negara, teknologi pemrosesan makanan, demografi usia, dan laju pernapasan. Peneliti juga memperhitungkan semua faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan cara penduduk setiap negara mengonsumsi mikroplastik.

“Penyerapan mikroplastik di tingkat negara merupakan indikator penting dari polusi plastik dan risiko kesehatan masyarakat,” kata You lewat keterangan tertulisnya.

Mikroplastik dalam Garam Meja di Indonesia Lebih Tinggi

Studi ini menilai penyerapan makanan dengan mengumpulkan data konsentrasi mikroplastik di subkategori kelompok makanan utama. Di antaranya buah-buahan, sayuran, protein, biji-bijian, produk susu, minuman, gula, garam, dan rempah-rempah.

Model tersebut juga menggunakan data yang merinci berapa banyak makanan yang dikonsumsi di berbagai negara. Misalnya, konsumsi garam meja per kapita di Indonesia dan Amerika hampir sama. Namun, konsentrasi mikroplastik dalam garam meja di Indonesia 100 kali lebih tinggi.

Asupan mikroplastik dari makanan di AS diperkirakan sekitar 2,4 gram per bulan, sedangkan yang terendah adalah Paraguay sebesar 0,85 gram.

Data konsentrasi mikroplastik di udara, demografi usia, dan laju pernapasan manusia telah peneliti gunakan untuk menghitung mikroplastik yang terhirup. Penduduk Tiongkok dan Mongolia menduduki peringkat teratas dengan menghirup lebih dari 2,8 juta partikel per bulan. Penduduk AS menghirup sekitar 300.000 partikel per bulan. Hanya penduduk di Mediterania dan wilayah sekitarnya yang menghirup mikroplastik lebih sedikit.

“Industrialisasi di negara berkembang, khususnya di Asia Timur dan Selatan, telah menyebabkan peningkatan konsumsi bahan plastik, timbulan sampah, dan serapan mikroplastik oleh manusia. Sebaliknya, negara-negara industri mengalami tren sebaliknya, didukung oleh sumber daya ekonomi yang lebih besar untuk mengurangi dan menghilangkan sampah plastik,” ucap You.

Pemerintah Perlu Batasi Plastik Sekali Pakai

Sementara itu, Rafika mengungkapkan bahwa penggunaan plastik sekali pakai di Indonesia masih sangat masif. Berdasarkan data brand audit oleh Ecoton di sepanjang tahun 2023 hingga awal tahun 2024, Ecoton menemukan jenis sampah plastik.

“Sampah yang paling banyak ada plastik sekali pakai tanpa merek misalnya kresek, styrofoam, dan botol plastik sekali pakai. Sampah terbanyak lainnya adalah kemasan sachet multilayer yang tidak bisa didaur ulang,” ujar Rafika.

Dalam mengatasi permasalahan ini, menurut Rafika pemerintah harus mengeluarkan peraturan pembatasan plastik sekali pakai di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian, perusahaan makanan dan minuman juga harus mulai beralih ke sistem guna ulang atau isi ulang.

“Masyarakat harus sadar akan bahaya sampah plastik terhadap lingkungan, bahkan dapat menurunkan kesehatan tubuh. Seluruh masyarakat harus beralih ke sistem guna ulang juga. Sistem guna ulang itu murah dan muda,” ungkap Rafika.

BACA JUGA: BRIN : Kolaborasikan Riset Biodiversitas dan Energi di G20

Apabila penggunaan plastik terus meningkat, itu bisa menimbulkan mikroplastik yang mengontaminasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dampak dari mikroplastik ini sangat berbahaya. Senyawa plastik ini dapat menganggu hormon dalam tubuh makhluk hidup dan menganggu metabolisme tubuh hingga menimbulkan penyakit.

“Penemuan terbaru menunjukkan mikroplastik menyumbat pembuluh darah manusia yang mengakibatkan serangan jantung. Mikroplastik juga peneliti temukan di air susu ibu hamil dan plasenta. Hal ini membuktikan bahwa bayi yang belum lahir pun sudah mewarisi mikroplastik. Padahal, bayi masih sangat rentan jika terkena senyawa racun dari luar, termasuk mikroplastik sehingga menganggu tumbuh kembang bayi,” ucapnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top