Jakarta (Greeners) β Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah dan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) meluncurkan riset βDaya Rusak PLTU Captiveβ. Riset tersebut mengungkap dampak polusi udara, pencemaran air, dan eksploitasi sumber daya alam. Riset ini juga mencatat adanya kriminalisasi terhadap rakyat yang diduga dilakukan oleh Kawasan Industri Pengolahan Nikel Indonesia Huabao Industri Park (IHIP) di Desa Topogaro, Morowali, Sulawesi Tengah.
Manager Kampanye Walhi Sulawesi Tengah, Wandi, mengatakan bahwa pembangunan kawasan industri ini menelan biaya sebesar Rp14 triliun. Meskipun demikian, kawasan industri ini masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive dengan kapasitas 350 MW dan target ekspansi hingga 450 MW.
Mereka juga menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama. Hal itu untuk mendukung produksi blok besi nikel, nikel hidroksida, stainless steel, carbon steel, dan MHP yang menjadi bahan dasar pembuatan baterai kendaraan listrik.
BACA JUGA: Pengawasan Lemah, Ledakan Kembali Terjadi di Industri Nikel
βInvestasi begitu besar dan mahal mengorbakan rakyat sebagai penerima dampak buruk dari produksi nikel setengah jadi ini. Di dalam kawasan tersebut terdapat Smelter, Jetty, dan PLTU Captive yang saling terhubung satu sama lain. Letaknya juga sangat dekat dengan pemukiman warga, sekolah, pasar, dan fasilitas umum lainnya,β ujar Wandi lewat keterangan tertulisnya.
IHIP merupakan kawasan industri pengolahan nikel yang didanai oleh Tiongkok, Zhensi Indonesia Industrial Park yang memegang saham terbesar 51 persen. Sementara, saham Beijing Shengyue Oriental Investment Co Ltd sebesar 10,28 persen, Kejayaan Emas Persada 27,45 persen, dan Himalaya Global Investment sebesar 11,27 persen.
Kasus ISPA Meningkat
Di Desa Ambunu, PLTU Captive hanya berjarak 100 meter dari SD Ibtidaiyah dan SMP Tsanawiyah Alkhairaat. Riset ini melaporkan bahwa PLTU tersebut mengancam kesehatan anak-anak dan orang dewasa. Hal itu akibat paparan udara yang mengandung zat kimia berbahaya dari proses pembakaran.
Selanjutnya, data Puskesmas Wosu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali menunjukkan peningkatan drastis kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pada tahun 2021 ada 735 kasus, tahun 2022 tercatat 1.200 kasus. Sementara, pada 2023 terdapat 1.148 kasus. Angka tersebut telah memperlihatkan kasus ISPA semakin meningkat.
βAngka tersebut membuktikan bahwa aktivitas industri pengolahan nikel di Morowali ini berdampak langsung pada kesehatan warga. Namun, pemerintah daerah hingga pemerintah pusat justru tampak membiarkan industri ini terus beroperasi,β tambah Wandi.
Cemari Laut
Selain kasus ISPA, kebisingan suara dari kawasan industri ini juga mengganggu warga. Sebab, industri tersebut beroperasi di antara pemukiman dan sarana pendidikan. Selain itu, operasionalnya berpotensi mencemari laut, pesisir, dan sungai di Morowali.
Limbah yang berasal dari pengolahan nikel yang tidak terkontrol itulah yang dapat mencemari air laut. Bahkan, bisa merusak ekosistem yang berdampak bagi habitat kehidupan laut seperti ikan dan hewan-hewan laut lainnya.
BACA JUGA: Bappenas Bakal Susun Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel
Kondisi laut yang semakin tercemar mengancam mata pencaharian nelayan. Sementara, konflik antara perusahaan dan warga setempat semakin rentan. Ketika warga menolak keberadaan kawasan industri ini, mereka justru mengalami kriminalisasi.
Menurut Wandi, kawasan industri yang dibangga-banggakan merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Program Hilirisasi yang pemerintah canangkan tidak memberikan kesejahteraan. Kehadiran industri ini justru menciptakan kemiskinan struktural akibat keserakahan eksploitasi sumber daya alam.
Walhi Sulawesi Tengah Desak Pemerintah
Melalui diskusi publik pada peluncuran hasil riset ini, Walhi Sulawesi Tengah mendesak pemerintah untuk menghentikan operasi PLTU Captive di kawasan industri pengolahan nikel di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara.
Mereka juga meminta pemerintah untuk segera melakukan monitoring dan evaluasi menyeluruh. Terutama, pada izin usaha pertambangan dan izin industri pengolahan nikel di kedua kabupaten tersebut. Kedua industri tersebut diduga gagal melindungi ekosistem, lingkungan, dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, Walhi mendesak pemerintah Sulawesi Tengah untuk segera menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan yang sehat. Wandi berharap agar pemerintah pusat dan pemerintah Sulawesi Tengah dapat segera merealisasikan seruan ini demi penyelamatan lingkungan dan perlindungan HAM.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia