Jakarta (Greeners) – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) World Animal Protection meluncurkan laporan The Pecking Order 2020. Laporan ini memberi peringkat secara global kepada restoran cepat saji dalam mengelola kesejahteraan ayam. World Animal Protection di antaranya menilai Burger King, Domino’s Pizza Group, Domino’s Inc., KFC, McDonald’s, Nando’s, Pizza Hut, Starbucks. Laporan ini mendapati para gergasi restoran cepat saji masih konsisten melakukan praktik siksa ayam di Indonesia.
Jonty Whittleton, Kepala Kampanye Global di World Animal Protection, mengatakan puluhan miliar ayam tidak pernah mendapat kesempatan melihat sinar matahari, tumbuh dengan sehat, maupun kesempatan mengekspresikan kodrat hewani mereka.
“Sebaliknya, hidup mereka seringkali penuh dengan rasa sakit, ketakutan, dan stres. Tidak ada alasan. Perusahaan ikonik tersebut memiliki kekuatan untuk mengakhiri penderitaan yang mereka sebabkan demi keuntungan mereka sendiri,” tutur Whittleton pada diskusi daring peluncuran laporan The Pecking Order 2020 Kamis (29/10/2020).
Laporan The pecking order 2020 menilai perusahaan pada tiga bidang. Pertama, komitmen atas kebijakan perusahaan yang dengan jelas menyatakan pentingnya kesejahteraan ayam. Kedua, periset menilai ketepatan waktu para perusahaan untuk memenuhi tujuan, sasaran, dan janji untuk meningkatkan kesejahteraan ayam. Ketiga, penelitian ini mereken transparansi perusahaan dari pelaporan kinerja mereka, dan seberapa jelas perusahaan memenuhi janjinya tentang kesejahteraan ayam.
Perusahaan Bereaksi atas Protes Warga Negara Maju, Bukan Warga Indonesia
Dalam konteks Indonesia, Whittleton menemukan tidak ada satu pun perusahaan yang memeroleh poin untuk meningkatkan kesejahteraan ayam. Angka ini jauh di bawah pasar negara lain. Padahal, tiga dari empat perusahaan induk yang beroperasi di Tanah Air, McDonald’s, Burger King dan KFC, memiliki kebijakan kesejahteraan hewan secara global.
Temuan ini membuat standar ganda keempat gergasi restoran cepat saji ini terang benderang. Mereka memiliki kebijakan kesejahteraan ayam serta memperkenalkan kebijakan untuk meningkatkan standar hanya di beberapa negara. Negara berkembang, seperti Indonesia, tidak termasuk. Ini sangat jelas dengan KFC yang telah menandatangani Komitmen Ayam Lebih Baik di tujuh pasar Eropa. Begitu juga Burger King dan Starbucks yang telah menandatangani Komitmen Ayam Lebih Baik di Amerika Utara. Dengan kata lain, perusahaan ini hanya mendengarkan protes konsumen untuk eleminasi praktik siksa ayam di negara maju. Perusahaan ini memuaskan konsumen di Eropa dan Amerika Utara, namun tidak di Indonesia.
“Di negara seperti Indonesia, masyarakat sangat menghargai ayam, tapi perlakuan terhadap hewan sangat minim untuk kesejahteraannya. Perusahaan di Indonesia harus meniru komitmen yang kami lihat di Eropa dan Amerika Utara. Konsumen menjadi semakin peduli tentang kesejahteraan hewan, dan kami akan terus berbicara untuk menekan perusahaan untuk membuat perubahan nyata yang melindungi hewan dan konsumen,” ujar Whittelton.
Baca juga: Proyek Pulau Rinca: Pemerintah Abaikan Peneliti Komodo LIPI
Konsumen Indonesia Prihatin Praktik Siksa Ayam
Lantas, apakah masyarakat Eropa dan Amerika Utara memang lebih memiliki perhatian akan kesejahteraaan ayam ketimbang masyarakat Bumi Pertiwi? Ternyata tidak. Konsumen di Indonesia juga berbagi rasa yang sama. Penelitian World Animal Production antara 2018 dan 2019 menunjukkan 9 dari 10 konsumen Tanah Air khawatir terhadap metode peternakan ayam saat ini. Bahkan, 94 persen konsumen berpendapat produsen daging ayam harus bertanggung jawab atas kesejahteraan ayam. Di mana 76 persen konsumen berpendapat merek makanan cepat saji harus bertanggung jawab.
Selain itu, 67 persen konsumen mengatakan bersedia membayar lebih jika perusahaan memelihara ayam dengan standar kesejahteraan yang lebih tinggi. Dari mereka yang bersedia membayar lebih, 36 persen akan membayar 5 persen lebih banyak dan 38 persen akan membayar 10 persen lebih banyak.
Lebih jauh, laporan yang sama juga merilis 63 persen konsumen Indonesia cemas peternakan ayam menjadi sumber penyakit. Sementara 60 persen prihatin dengan perusahaan yang menyuntikkan antibiotik pada ayam. Serta, 9 dari 10 konsumen mengungkapkan kekhawatiran tentang QSR (Quick-Service Restaurant). Dari mereka yang khawatir, 35% prihatin tentang dari mana daging itu berasal dan bagaimana perusahaan membesarkan hewan.
Raksasa Restoran Cepat Saji Miliki Peluang Seismik untuk Kesejahteraan Ayam
Berbicara dalam acara yang sama, Rully Prayoga, Manajer Kampanye Hewan Ternak untuk Indonesia menyebut Rancangan Undang-undang (RUU) No 18/2009 tentang Peternakan. RUU ini, lanjutnya, jelas memaparkan kesejahteraan hewan ternak. Bab 1 no 42 menyatakan kesejahteraan hewan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan fisik dan mental hewan berdasarkan tingkah laku hewan yang alami dan harus dilaksanakan dan ditegakkan oleh semua pihak.
“RUU ini jelas menjunjung tinggi kesejahteraan hewan ternak dan tidak ada alasan untuk ketidaktahuan restoran cepat saji merek besar terhadap RUU ini,” ujarnya.
Rully mengatakan, perusahaan waralaba makanan cepat saji saat ini sudah mulai mengembangkan kebijakan kesejahteraan ayam, tetapi mereka tidak melangkah cukup jauh. Cakupan geografis dan kontennya terbatas. Tidak jelas apakah perusahaan menejermahkan peningkatan kesejahteraan ayam ke dalam tujuan dan target yang nyata. Perusahaan merek yang sama memiliki kebijakan yang berbeda di setiap negara, termasuk di Indonesia.
“Konsumsi daging ayam di Indonesia menurut survey terakhir adalah 12,79 kg / kapita / tahun. Permintaan ayam broiler hingga Mei 2020 diperkirakan mencapai 1.450.715 ton, membuat permintaan ayam broiler di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan, sehingga menghasilkan lebih banyak lagi pabrik peternakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” ujarnya.
Sebagai informasi, World Animal Protection menyerukan kepada perusahaan global yang dinilai untuk memimpin dan memastikan bahwa setiap ayam yang disajikan di restoran mereka dijamin hidup layak. Perusahaan yang dinilai dalam The pecking order 2020 memiliki peluang seismik di tangan mereka dan dapat menggunakan kekuatan mereka untuk meningkatkan kehidupan ratusan juta hewan.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi