Jakarta (Greeners) – Organisasi yang menyingkap risiko deforestasi bank dan investor, Forests and Finance, menemukan uang yang diinvestasikan pada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) berdampak buruk pada lingkungan. Dalam diskusi “Is Your Money Destroying or Violating Right” (22/09/20), data menunjukkan empat LJK Indonesia masuk dalam sepuluh kreditur terbesar Asia Tenggara.
Keempat kreditur terbesar sektor risiko deforestasi Indonesia adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Mandiri, dan Bank Central Asia (BCA). Tiga dari empat bank adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Raksasa bank Tanah Air ini mendanai sektor yang berisiko merusak hutan. Sektor yang disebut berisiko merusak hutan adalah sektor bubur kertas dan kertas, minyak sawit, karet, kayu dan kedelai.
Dalam pengambilan data di Indonesia, Forests and Finance melibatkan Transformasi untuk Keadilan (TuK), Rainforest Action Network (RAN) dan Profundo.
“Semua data pendanaan lembaga keuangan pada perusahaan, terkait sektor dan dampaknya pada lingkungan dapat dilihat di website Forests and Finance. Namun, tidak semua perusahaan kami miliki datanya” ujar Direktur Eksekutif TuK, Edi Sutrisno saat di hubungi Greeners.co (29/09/20)
Baca juga: Cyanobacteria Sebabkan Kematian Ratusan Gajah di Botswana
Kebijakan Lingkungan LJK Dinilai Buruk
Lebih jauh, data Forests and Finance menunjukkan nilai kebijakan dan transparansi keempat bank besar Tanah Air rendah. Edi menekankan pentingnya transparansi kepada publik.
“Mayoritas LJK tidak mengetahui siapa klien mereka, anak perusahaan dan rantai pasok dari grup perusahaan. Tentu ini tidak hanya menjadi tanggung jawab LJK maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dibutuhkan sinergi dengan pihak lain,” tutur Edi.
Menurut Edi, OJK harus mendorong institusi negara lainnya seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memastikan perusahaan transparan dalam melaporkan entitas bisnisnya.
Edi pun berharap LJK tidak hanya berfokus pada perusahaan saja, namun perlu untuk memperhatikan komitmen dari perusahaan pada konservasi flora dan fauna.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: RUU EBT Harus Fokus pada Energi Terbarukan
Periset: Beberapa Data Tidak Tercatat
Mengamini pernyataan Edi, pada presentasi data Forests and Finance, Responsible Finance Senior Campaigner RAN, Hana Heineken, menyatakan pentingnya transparansi data dari LJK.
“Isu investasi dan hutan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kita dapat memantau isu ini dari nilai kebijakan bank yang terdapat pada data Forests and Finance yang akan terus diperbarui untuk melihat ada atau tidaknya perubahan,” tutur Hana.
Berbicara menganai topik yang sama, Ward Warnerdan dari Profundo mengakui susahnya memperoleh data dari Tanah Air.
“Proses pengumpulan data dalam penelitian ini mengalami beberapa kendala. Tidak semua data dapat dengan mudah diperoleh dikarenakan data tidak tercatat,” ujar Ward dalam acara yang sama.
Dalam pemaparan data, Ward melanjutkan, terdapat beberapa proses. Di awali dengan mendata perusahaan sesuai dengan sektor yang ada. Data lalu dikelola dengan metodologi yang terbagi menjadi tiga yaitu deal contribution, segment adjuster, dan geographic adjuster.
Penulis: Maria Soterini
Editor: Ixora Devi