Jakarta (Greeners) – Rencana revitalisasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarbagita Suwung Bali hingga kini tak kunjung selesai. Masa pelaksanaan yang sebelumnya direncanakan sejak 2017 dan selesai pada 2019 ini mundur kembali hingga Desember 2021.
Proyek yang digarap oleh kontraktor PT Waskita Karya dan PT Arkonin dengan anggaran Rp250 miliar tersebut termasuk pembangunan instalasi pengelolaan air limbah. Tujuannya agar cairan sampah atau lindi tidak mencemari lingkungan sekitar maupun laut.
Baca juga: LIPI Lakukan Uji Klinis Suplemen Herbal pada Pasien Covid-19
Pengelolaan sampah di TPA Sarbagita Suwung dinilai penting bagi citra pariwisata Indonesia karena lokasinya dekat dengan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai yang menjadi salah satu lapangan terbang tersibuk di Asia Tenggara.
Revitalisasi dan pengembangan TPA maupun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Sarbagita Suwung Bali semakin didorong karena alasan kesiapan pemulihan ekonomi dan sosial Provinsi Bali sebagai destinasi pariwisata dunia di masa kenormalan baru.
Fasilitas yang akan dibangun meliputi tempat pengolahan sampah seluas 10 Hektare. Dengan rincian lima hektare untuk sanitary landfill dan sisanya untuk lokasi teknologi pengelolaan sampah yang terpilih.
TPS Kurang Terawat
Nindhita Proboretno, Zero Waste Program Officer Nexus3/BaliFokus Foundation, kondisi TPA Sarbagita Suwung saat ini memang kurang terawat karena sejumlah fasilitas tidak berjalan, misalnya, mesin Instalasi Pengolahan Limbah yang rusak. Sanitary landfill juga tidak berfungsi karena sampah masuk terus-menerus dan membuat TPA seperti open dumping.
“Dua Minggu lalu dari Suwung melihat kondisinya kurang terawat. Revitalisasi atau pengembangan TPA ini memang lambat. Tidak ada progres pembangunan apa-apa pas kesana. Hanya truk-truk sampah yang masuk saja,”ujar Nindhi ketika dihubungi Greeners, Rabu, (05/08/2020).
Sementara untuk keberadaan PLTSa yang menjadi pendukung pengurangan sampah di TPA juga melambat perkembangannya. Nindhi yang mengikuti konsultasi publiknya menceritakan bahwa pada November lalu Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali mengundang kembali investor dan menyiapkan sosialisasi pasar. Namun, hingga kini, kata dia, belum ada kabar.
“Lahan buat PLTSanya kosong tidak ada apa-apa. Yang jadi perhatian letaknya bersebelahan dengan area mangrove Pulau Serangan. Abunya pasti akan ke mana-mana,”ujar Nindhi.
Komitmen Pemerintah Daerah
Sementara Sekretaris Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional Himawan Hariyoga menyampaikan bahwa selain menjadi daerah tujuan wisata, Provinsi Bali juga dikenal sebagai daerah dengan kebijakan energi bersih dan rencana penerapan pengelolaan sampah menjadi energi listrik atau PLTSa.
“Sampah jika dikelola dengan baik dapat menciptakan berbagai produk yang bernilai ekonomi. Konsep ini dimaknai sebagai proses circular economy dan sejalan dengan kebijakan pembangunan rendah karbon,” ucap Himawan, Senin, (03/08/2020).
Berdasarkan data dokumen Prastudi Kelayakan Awal, total timbunan sampah TPA Sarbagita Suwung telah mencapai 1.400 ton per hari. Kota Denpasar adalah penyumbang sampah terbesar dengan persentase 50 persen atau setara dengan 740 ton per hari.
Himawan mengatakan pada 2 Desember 2019 telah dilakukan market sounding dengan hasil bahwa badan usaha membutuhkan kepastian teknologi, ketersediaan lahan, biaya layanan pengelolaan sampah, dukungan pemerintah, dan listrik.
Pengembangan TPA/PLTSa Sarbagita Suwung menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang mencakup lingkup kerja Design–Finance–Build–Operation–Maintenance (DBFOM). Nilai investasinya mencapai Rp2,35 triliun dengan masa kerja selama 20 tahun. “Proyek ini sudah masuk ke dalam PPP Book 2020 dengan status ‘dalam proses penyiapan’. Selanjutnya, Pemprov Bali perlu menyusun dokumen Pra Studi Kelayakan Akhir untuk finalisasi kajian,” ujarnya.
Baca juga: Sejarawan: Perubahan Perilaku Menjadi Kunci Penanganan Pandemi
Ia mengatakan Pemerintah Provinsi Bali juga berkewajiban menunjukkan komitmennya untuk menghasilkan dan mengoptimalkan dana retribusi sampah. Menurutnya PLTSa membutuhkan investasi, biaya operasional, perawatan, dan tip yang sangat besar. Selain itu pembangunan pembangkit listrik, kata dia, berpotensi mendorong masyarakat membuang sampah sebanyak-banyaknya ketimbang mengurangi dan memilah sampah.
“Bila sistem insinerator dipilih akan menyebabkan kenaikan retribusi Rp69.500 hingga Rp105.065 per Kepala Keluarga per bulan. Pengelolaan sampah menjadi produk akhir harus ditunjang dengan kajian kelayakan yang memadai,” kata Himawan.
Menurutnya agar TPA Sarbagita Suwung dapat berfungsi dengan baik, retribusi dana pengelolaan sampah di Bali memerlukan pembaruan untuk ditingkatkan dengan berbagai inovasi. Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah daerah harus memastikan tersedianya pendanaan untuk operasional pengumpulan dan pengangkutan. “Hasil pengumpulan retribusi dan pembiayaan dari Pemerintah Provinsi Bali harus tersedia secara memadai untuk mengelola sistem persampahan sanitary landfill,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani