Relokasi Berpotensi Membuat Masyarakat Adat Menjadi Korban Bencana

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Pemerintah dituntut untuk bertanggung jawab terhadap pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat adat terkait Penanggulangan Risiko Bencana (PRB). Hal ini mendesak untuk dilakukan mengingat banyak masyarakat adat di wilayah Indonesia sudah tidak lagi hidup sesuai dengan lokasi asal leluhur mereka.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menyatakan, sejak sekitar tahun 1970, saat di mana izin pembukaan lahan untuk Hak Pengelolaan Hutan (HPH) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) mulai masif dilakukan oleh pemerintah, banyak masyarakat adat yang dipindah tempat tinggalnya atau direlokasi ke tempat-tempat yang bukan seharusnya menjadi wilayah masyarakat adat.

Ia memberi contoh seperti yang terjadi pada masyarakat adat Mentawai di Sumatera Barat. Dahulu, masyarakat adat Mentawai hidup di wilayah pegunungan dan sangat akrab dengan bencana gempa bumi. Masyarakat adat Mentawai bahkan menganggap gempa bumi sebagai pertanda baik akan datangnya musim-musim panen yang ditandai dengan beberapa peristiwa alam.

“Mereka (masyarakat adat Mentawai) paham betul akan tanda-tanda itu. Mereka menganggap gempa bumi sebagai teman karena mereka tahu kapan gempa bumi akan datang dan akan sebesar apa. Mereka memiliki cara tersendiri untuk mengetahui dan mengantisipasi hal itu dan itu sudah diwariskan sejak dari leluhur mereka,” tutur Abdon kepada Greeners, Jakarta, Kamis (07/01).

Namun, lanjutnya, sejak izin HPH dan HTI diberikan pemerintah, hampir seluruh masyarakat adat Mentawai dipindahkan dari lokasi tempat tinggalnya. Mereka diarahkan ke wilayah pesisir. Masyarakat adat Mentawai yang tidak pernah tahu mengenai tsunami, sebagian besar menjadi korban saat terjadi gempa besar yang disertai dengan tsunami di Padang, Sumatera Barat pada tahun 2010 lalu.

Selain masyarakat adat Mentawai, Abdon juga memberi contoh kasus yang terjadi pada masyarakat adat Bajau atau lebih akrab disebut orang Bajau di Jambi. Orang Bajau yang sudah turun-temurun hidup di laut, dipaksa untuk tinggal di darat. Mereka pun harus beradaptasi lagi dengan bencana alam baru seperti tanah longsor dan banjir.

Disinilah, lanjut Abdon, pemerintah punya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Karena seharusnya, kearifan lokal yang lahir dari kepercayaan-kepercayaan masyarakat adat dalam menjaga hutan, tanah dan alam Indonesia akan sangat bermanfaat untuk dipelajari sebagai bentuk mitigasi penganggulangan resiko bencana.

“Pemerintah harus mengenalkan pada masyarakat adat dengan bencana-bencana baru yang sebenarnya bukan mereka yang buat tapi mereka harus menerima akibatnya. Pemerintah punya pekerjaan rumah yang besar untuk ini. Pemerintah juga harus mulai mengkaji ulang izin-izin yang diberikan pada perusahaan yang berada di dalam wilayah-wilayah rawan bencana yang sebenarnya masuk dalam wilayah kelola masyarakat adat,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top