Refleksi Ekofeminisme dan Urgensi Kaum Perempuan di Hari Lahan Basah Dunia

Reading time: 4 menit
Refleksi Ekofeminisme dan Urgensi Kaum Perempuan di Hari Lahan Basah Dunia
Refleksi Ekofeminisme dan Urgensi Kaum Perempuan di Hari Lahan Basah Dunia. Foto: Shutterstock.

Oleh: Ulfa Sevia Azni

Pada 2 Februari 2021 media sosial ramai dihiasi ucapan memperingati Hari Lahan Basah Sedunia. Peringatan tersebut merujuk pada pertemuan yang diadakan tepat pada setengah abad lalu di Kota Ramsar, Iran yang pada akhirnya di kenal luas sebagai Konvensi Ramsar.

Tema perayaan hari lahan basah sedunia tahun ini sangat relevan dengan kondisi yang kita hadapi sekarang. Saat ini, miliaran orang di bumi menggantungkan hidupnya pada keberadaan lahan basah, baik langsung maupun tidak.

Sektor perikanan, pertanian dan transportasi merupakan sektor yang sangat bergantung pada keutuhan fungsi lahan basah.

Sejatinya, lahan basah memang merupakan salah satu ekosistem yang produktif dalam mendukung kehidupan manusia. Salah satunya adalah lahan gambut.

Secara ekologi ia memiliki kandungan keragaman hayati yang kaya, sementara dari tinjauan ekonomi dan sosial, ia merupakan sumber makanan, perikanan, energi, pertanian, dan pendukung kehidupan masyarakat setempat.

Indonesia, Negara dengan Lahan Gambut Terluas di Asia Tenggara

Bicara soal gambut, Indonesia memiliki lahan gambut dengan luas mencapai 22,5 juta hektar. Ia menyumbang 47% luas lahan gambut di wilayah tropis dan merupakan negara dengan lahan gambut terluas di Asia Tenggara. Oleh sebab itu keberadaan lahan gambut di Indonesia memiliki arti penting bagi kelestarian lingkungan secara global.

Namun, wacana seputar lahan gambut pada perayaan Hari Lahan Basah Dunia hari ini masih muncul terbatas pada situasi tertentu seperti saat terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Wacana lahan gambut yang muncul pun pada umumnya hanya berkutat pada persoalan ekologi dan ekonomi, padahal keberadaan lahan gambut memiliki dimensi luas, baik dari segi sosial, budaya, politik, bahkan dalam dimensi keadilan gender yang hanya masih segelintir orang yang menyadari.

Dengan luasnya kawasan lahan gambut di Indonesia, maka jelas bahwa lahan gambut memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat, khususnya penduduk yang hidup di sekitar kawasan lahan gambut, termasuk di dalamnya kaum perempuan itu sendiri.

Wacana seputar lahan gambut pada perayaan Hari Lahan Basah Dunia tahun ini masih terbatas pada situasi tertentu seperti saat terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Foto: Shutterstock.

Kacamata Ekofeminisme terhadap Kerusakan Alam 

Dalam perspektif ekofeminisme secara umum dibahas adalah mengenai bagaimana melihat akar dari kerusakan terhadap alam dan penindasan terhadap perempuan sebagai akibat dari dominasi patriarki.

Sebagaimana contoh, kerusakan kawasan lahan gambut di Indonesia telah terjadi sejak zaman Orde Baru seperti salah satunya adalah Rice Mega Project atau yang sekarang dikenal senada dengan Program Food Estate, dimana mengubah lahan gambut di berbagai daerah di Indonesia menjadi lahan persawahan.

Pembangunan yang agresif dan juga bencana seperti kebakaran lahan dan hutan yang telah berjalan selama puluhan tahun tersebut telah berakumulasi dan menjadi warisan persoalan kawasan lahan gambut di Indonesia yang kita hadapi hingga hari ini.

Berbagai program yang diwujudkan pemerintah untuk merestorasi dan mengembalikan fungsi ekosistem gambut pun sudah digalakkan, salah satunya adalah konsep restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG).

Pada fungsi pemulihan tersebut, BRG menyebut bahwa masyarakat juga sebagai aktor yang turut andil berperan dalam penerima manfaat. Maka dari itu, sudah seharusnya kaum perempuan juga menjadi agen dalam proses berjalannya restorasi tersebut.

Kerusakan Lingkungan Ancam Keberlangsungan Budaya Mengayam Purun

Kaum perempuan yang hidup di kawasan lahan gambut menjadi bukti yang jelas bagaimana hubungan antara kerusakan lingkungan dan akibatnya pada perempuan.

Salah satu budaya dan ekonomi lokal di kawasan lahan gambut adalah anyaman purun. Purun merupakan tumbuhan yang hidup di lahan gambut dan sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan anyaman yang dilakukan oleh kaum perempuan perdesaan.

Menganyam purun merupakan kegiatan yang dilakukan di sela waktu luang perempuan dalam rumah tangga. Keberadaan kaum perempuan yang tersebut telah membuktikan bahwa kaum perempuan mampu membiayai dirinya sendiri dan bahkan mampu membantu pendapatan keluarga.

Namun permasalahan terjadi ketika rusaknya lahan gambut yang menyebabkan hilangnya lahan purun yang tumbuh bebas di lahan gambut.

Akibatnya, saat ini bahan baku purun agak sulit didapati karena kebanyakan lahan gambut sudah berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit sehingga menyebabkan kebakaran purun.

Memang, program perkebunan kelapa sawit juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program inti plasma, namun kondisi ini menjadi mengkhawatirkan akan mematikan pendapatan masyarakat, khususnya kaum perempuan yang mengantungkan hidupnya dengan purun.

Menganyam purun merupakan kegiatan yang dilakukan di sela waktu luang perempuan dalam rumah tangga. Ilustrasi: Shutterstock.

Perempuan Berperan Besar terhadap Kelestarian Lingkungan

Seperti yang dikutip dari aktivis ekofeminisme, Vandana Shiva yang mengatakan bahwa perempuan memiliki kepentingan yang besar terhadap kelestarian lingkungan.

Ia menyebut bahwa adanya peran gender yang dibebankan kepada perempuan dalam pengasuhan dan pengelolaan kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali dari bencana-bencana alam yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan trauma terhadap masyarakat.

Perempuan menjadi kelompok pertama dalam merasakan dampak dari kondisi tersebut. Perempuan harus memikirkan kembali dampak lanjutan bencana terhadap keluarga dan dirinya sendiri.

Hal tersebut senada dengan argument ahli ekofeminis, Ynestra King yang berpendapat bahwa kerusakan dan/atau penindasan terjadi terhadap manusia yang dimulai dari relasi yang hierarkis dan timpang.

Sebagaimana relasi kuasa yang timpang antara laki-laki terhadap perempuan dewasa ini, akibat yang dirasakan dari rusaknya kawasan lahan gambut, seperti karhutla, bencana asap, dan lainnya, juga menggambarkan relasi kuasa dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut selama ini.

Namun, ekofeminisme tidak berhenti pada argumen akan keterkaitan antara eksploitasi terhadap alam dengan dominasi terhadap perempuan semata.

Ekofeminisme juga melihat agensi perempuan dalam memulihkan dan menjaga kelestarian lingkungan. Ekofeminisme menawarkan perubahan dalam cara pandang manusia yang superior terhadap alam melalui kacamata keadilan gender.

Maka dari itu, sudah sepantasnya perempuan mendapat ruang dalam urgensi kebijakan di Hari Lahan Basah Dunia hari ini. Diharapkan adanya upaya pendampingan yang konstruktif di lapisan masyarakat dengan menggandeng perempuan untuk kembali lagi mengupayakan dan merealisasikan fungsi hidrologis yang sudah rusak di ekosistem lahan basah Indonesia hari ini.

*Penulis merupakan mahasiswa S3 Ilmu Lingkungan, Universitas Sriwijaya

Top