Jakarta (Greeners) – Dalam perayaan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 28 Januari 2017, warga Indonesia etnis Tionghoa memiliki hidangan khas yang disajikan khusus pada hari itu. Menurut Aji “Chen” Bromokusumo, pakar budaya dan kuliner dari Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia, hidangan Imlek harus mewakili tiga unsur, yaitu udara, darat dan air.
Dari sisi hidangan air, seringkali yang menjadi hidangan istimewa adalah sirip hiu. Padahal menurutnya, sajian hidangan sirip hiu bukanlah sebuah keharusan jika niatnya memang ingin mengucap rasa syukur. Apalagi mengingat populasi hiu kian menyusut. Pada dasarnya, kata Aji, ada menu alternatif lain yang bisa digunakan untuk mengganti menu sirip ikan hiu.
“Menyajikan tiga unsur dalam hidangan sebagai rasa syukur supaya usaha lancar itu bisa diwakili dengan bebek atau ayam, daging babi, dan unsur dari air bisa diwakili ikan jadi tidak harus sirip hiu, bisa diganti dengan bandeng yang filosofinya lebih baik dan bisa dihadirkan utuh untuk menunjukkan rasa syukur dan harapan untuk kelancaran di masa depan. Jadi saya sepakat jika Imlek tahun ini dan tahun-tahun berikutnya itu harus bebas hiu,” tegasnya, Jakarta, Jumat (27/01).
BACA JUGA: Lima Spesies Hiu Berjalan Tinggal di Indonesia
Pakar kuliner William Wongso pun berpendapat bahwa harga sirip hiu yang mahal menjadi alasan mengapa menu ini tergolong mewah ketika disajikan saat Imlek. Berdasarkan pengalamannya saat dijamu, ketika ada menu sirip ikan hiu maka bisa dipastikan bahwa penjamu merupakan golongan menengah atas.
“Kualitas paling atas itu adalah sirip hiu utuh disajikan di meja. Jadi, dengan melihat sajian sirip hiu ini kita bisa menilai posisi seseorang,” tambahnya.
Untuk mendukung gerakan konservasi hiu dan menghilangkan hiu dari menu hidangan baik saat imlek maupun perayaan lainnya, WWF-Indonesia juga mengajak industri jasa makanan dan perhotelan di Indonesia untuk mengambil peran dalam gerakan konservasi global dan beralih dari produk berbahan dasar hiu dalam hidangannya. Dalam lima tahun terakhir, gerakan global untuk menghilangkan segala bentuk sajian berbahan dasar hiu mendapatkan momentum besar dengan lebih dari 18.000 properti jaringan hotel internasional yang melarang penyajian masakan berbahan dasar hiu.
BACA JUGA: Sup Sirip Hiu Dorong Hiu Kepala Martil Menuju Kepunahan
Jaringan Hongkong Shanghai Hotel, Shangri-La Hotel, Hilton dengan lebih dari 4.700 propertinya, Starwood Hotel di 1.300 jaringannya, Intercontinental Hotel Group di hampir 5.000 jaringan hotelnya, Carlson Rezidor dengan lebih dari 1.100 properti, dan Marriot International di hampir 4.500 properti hotelnya telah mengumumkan larangan penyajian hiu sejak tahun 2012. Menurut perhitungan WWF, sedikitnya 18.200 properti jaringan hotel di dunia tidak lagi menyajikan hidangan berbahan dasar hiu.
Andy Cornish, Shark & Ray Initiative Leader, WWF International mengatakan, banyak jaringan hotel internasional telah memahami ancaman serius dari konsumsi sirip hiu kepada ekosistem laut. Dalam catatan produksi hiu nasional antara tahun 2000 dan 2014 cenderung mengalami penurunan sebesar 28,30 persen, (DJPT, 2016), Indonesia pada tahun 2014 masih menjadi negara produsen hiu terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 16,8 persen dari total tangkapan dunia.
“Hasil survei WWF-Indonesia menunjukkan konsumsi sirip hiu di restoran di Jakarta mengalami penurunan sekitar 20,32 persen menjadi 12.622 kg sirip hiu dalam satu tahun, dari setidaknya 15.840 kg di tahun 2014,” jelasnya.
Penulis: Danny Kosasih