Puluhan Masyarakat Adat Merauke Tolak PSN Cetak Sawah

Reading time: 2 menit
Puluhan masyarakat adat Merauke menolak PSN cetak sawah. Foto: Pusaka
Puluhan masyarakat adat Merauke menolak PSN cetak sawah. Foto: Pusaka

Jakarta (Greeners) – Puluhan masyarakat adat dari suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei di Merauke, Papua Selatan menyampaikan penolakan terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) serta investasi perkebunan yang beroperasi di wilayah adat mereka. Mereka menegaskan bahwa proyek-proyek tersebut telah melanggar dan merampas hak-hak masyarakat adat.

Penolakan tersebut disampaikan oleh sekelompok pemimpin masyarakat adat, Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul, dan Solidaritas Merauke. Mereka mengungkapkan penolakan itu dalam pertemuan dan dialog dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta beberapa perwakilan kementerian.

Pertemuan itu berlangsung di Kantor Bupati Merauke pada Senin, 2 November 2024. Komite II DPD RI yang membidangi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, sebelumnya telah menerima aspirasi masyarakat adat terkait permasalahan dan penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke.

Proyek tersebut mencakup pengembangan kawasan pangan dan energi untuk mencetak sawah baru serta tanaman lainnya. Ini termasuk juga perkebunan tebu dan pabrik bioethanol yang akan dibangun di atas lahan seluas lebih dari 2 juta hektare.

BACA JUGA: Food Estate Gagal Penuhi Kebutuhan Pangan dan Merugikan Perempuan

Juru Bicara Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul, Simon Petrus Balagaize, menilai bahwa kebijakan dan proyek PSN Merauke bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Proyek tersebut juga melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, hak masyarakat adat, hak petani, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak-hak lainnya.

“Kami menolak proyek PSN Merauke karena menimbulkan pelanggaran HAM serius, hak hidup orang asli Papua dan kerusakan lingkungan hidup,” kata Simon lewat keterangan tertulisnya, Senin (2/12).

Masyarakat Adat Desak Pemerintah

Di samping itu, mereka menilai bahwa kebijakan PSN Merauke terbit tanpa adanya kesepakatan luas dari masyarakat. Menurut mereka, kebijakan ini tidak mengikuti prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Pelaksanaan proyek tersebut seharusnya tanpa paksaan, manipulasi, atau rayuan, melainkan secara sadar dan bebas.

Kebijakan itu juga terbit tanpa kajian sosial dan lingkungan hidup yang memadai. Bahkan, mereka belum mendapatkan bahan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Selain itu, mereka juga belum memperoleh dokumen lingkungan hidup lainnya yang terkait dengan proyek tersebut.

Selanjutnya, pemerintah dan perusahaan Jhonlin Group, serta 10 perusahaan telah menggusur kawasan hutan, savana, rawa dan lahan gambut. Hal itu mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luas.

BACA JUGA: Proyek Tanggul Laut Raksasa Bisa Merusak Mangrove

Kehilangan kawasan tersebut berdampak pada sumber mata pencaharian dan pangan masyarakat. Kerusakan ini telah mencapai lebih dari 10.000 hektare, bahkan dapat mencapai jutaan hektare.

Pemberian izin usaha juga tertutup, diduga ada kolusi, nepotisme, ketidakadilan, dan monopoli yang menguntungkan kelompok tertentu. Pengambilalihan tanah dan hutan adat terjadi dalam skala besar, lebih dari 2 juta hektare.

Bahkan, pemerintah, kementerian, dan TNI sepemahaman membuat kebijakan terkait PSN Merauke. Hal ini termasuk melibatkan aparat militer untuk mengamankan proyek cetak sawah baru. Kehadiran militer menimbulkan rasa tidak aman dan tekanan psikologis bagi masyarakat setempat.

Kendati demikian, perwakilan masyarakat adat meminta pimpinan DPD RI, Ketua Komite II DPD RI, dan anggota DPD RI Provinsi Papua Selatan untuk mendesak presiden dan lembaga terkait menghentikan proyek PSN Merauke. Mereka juga meminta agar hasil kunjungan kerja bisa tersampaikan ke media nasional dan daerah.

“Kami meminta juga agar pimpinan DPD RI untuk aktif memperjuangkan keadilan, pemajuan penghormatan dan perlindungan hak dasar dan kesejahteraan masyarakat adat, serta keberlanjutan lingkungan hidup,” tegas Simon.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top