Jakarta (Greeners) – Alasan putusan Hakim Parlas Nababan yang meloloskan PT Bumi Mekar Hijau (PT BMH) atas gugatan perdata yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dianggap sebagai pertimbangan yang sangat meyederhanakan persoalan kebakaran hutan.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagyo, hakim seharusnya mampu mendorong penerapan pembuktian yang lebih profesional terhadap lingkungan dan masyarakat. Meskipun gugatan yang diajukan hanya perdata, namun harus diingat bahwa di balik gugatan ini terdapat kepentingan publik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat.
Hakim, menurutnya, harus berani melakukan judicial activism (penalaran legal, argumentasi legal dan rechtsvinding/penemuan hukum) sehingga tidak terjebak dalam pertimbangan-pertimbangan yang tidak logis dari kacamata publik. Melalui putusan hakim ini pula, ia berharap KLHK mampu lebih tegas dan serius dalam bekerja dengan melibatkan berbagai komponen publik yang lebih luas.
“Saya berharap putusan ini justru jadi pendorong bagi KLHK untuk berjuang dan sebagai refleksi bagi perbaikan strategi penegakan hukumnya,” terangnya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Kamis (07/01).
Menanggapi rencana proses banding yang akan dilakukan oleh KLHK, ia juga meminta agar dalam proses bandingnya nanti, KLHK harus membuat beberapa langkah strategi baru yang lebih kuat dan terencana, seperti misalnya melakukan penegakan hukum secara sinergi melalui gugatan perdata, pidana dan administrasi.
“Gugatan perdata ini perlu didorong dengan menerapkan strict liability atau tanggungjawab mutlak,” tambahnya.
Mengenai pengajuan permintaan hakim yang bersertifikat lingkungan, Henri menyarankan harus ada inovasi dan perbaikan terhadap kebijakan yang telah diambil oleh Mahkamah Agung yang menyatakan apabila di suatu Pengadilan Negeri (PN) tidak memiliki hakim bersertifikat lingkungan, maka majelis hakim dipilih dari Ketua PN atau hakim senior.
Namun hal ini juga tidak bisa begitu saja diterapkan. Karena, menurut surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 26/KMA/SK/II/2013 Tanggal : 18 Februari 2013 tentang kompetensi inti hakim lingkungan hidup, selain kompetensi hakim umum yang sudah dirumuskan oleh Mahkamah Agung RI, hakim lingkungan hidup memiliki kompetensi inti yang membedakannya dari hakim-hakim lain.
Kompetensi ini terdiri dari: (1) Pemahaman Dasar Ilmu Lingkungan dan Sumber Daya Alam; (2) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam; (3) Etika Lingkungan dan Sumber Daya Alam; (4) Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam; (5) Hukum Acara untuk Perkara Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam; (6) Integritas; dan (7) Judicial Activism (penalaran legal, argumentasi legal dan rechtsvinding/penemuan hukum).
Wawasan yang luas mengenai lingkungan hidup dan sumber daya alam diperlukan oleh hakim lingkungan hidup agar ia dapat memahami kasus pidana lingkungan hidup secara substantif. Pengetahuan tentang lingkungan hidup dan sumber daya alam serta keterampilan menggunakan pengetahuan itu dalam memeriksa berkas perkara, mencermati berbagai pendapat dalam sidang, dan membuat putusan, serta keyakinan, orientasi, motif dan sikap positif terhadap keberlanjutan lingkungan hidup yang didasari keadilan perlu dimiliki hakim lingkungan hidup dalam menjalankan tugasnya.
“Jadi menurut saya, yang perlu dikaji ulang oleh MA adalah soal aturan itu,” tandasnya.
Seperti diketahui, KLHK menggugat PT BMH secara perdata atas terbakarnya lahan seluas 20 ribu hektare pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Setelah berproses sejak Februari 2015, majelis hakim PN Palembang yang diketuai Parlas Nababan memutuskan untuk menolak gugatan perdata KLHK ke PT BMH sebesar Rp 7,8 triliun, pada sidang pembacaan putusan tanggal 30 Desember 2015, karena menimbang tidak ada unsur yang merugikan negara.
Berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli, dan sidang di lokasi kebakaran, majelis hakim yang terdiri atas Parlas Nababan (ketua), Eli Warti (anggota), dan Kartidjo (anggota) mengamati bahwa lokasi yang terbakar masih dapat ditumbuhi pohon akasia.
Selain itu gugatan ini dinilai terlalu prematur karena tidak dapat membuktikan kapan dan di mana lokasi kebakaran, eksepsi gugatan kabur, dalil tidak jelas, dan fakta bahwa lokasi itu merupakan areal pohon akasia berusia 3-4 tahun yang siap panen. Sehingga, hakim menilai tidak ada hubungan sebab-akibat (kausal) antara kesalahan dan kerugian.
Penulis: Danny Kosasih