Jakarta (Greeners) – Proyek tanggul laut raksasa yang direncanakan pemerintah telah menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Rencana itu diklaim sebagai solusi mengatasi ancaman banjir rob dan tenggelamnya kawasan Pantai Utara (Pantura) Pulai Jawa. Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) menilai proyek ini bisa merusak kawasan mangrove.
Pada Rabu, 10 Januari 2024 Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan beberapa menteri Kabinet Indonesia Kerja membentuk gugus tugas pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa.
Koalisi Maleh Dadi Segoro menolak rencana tersebut. Mereka menilai, ada dampak negatif dari tanggul laut yang menyebabkan krisis sosial ekologis Pantura Jawa. Salah satunya kawasan ekosistem mangrove terancam rusak.
BACA JUGA: DLH DKI Jakarta Kebut Penanggulangan Polusi Udara di 2024
“Kalau melihat dari proyek di Semarang, kalau lihat dari tol tanggul laut Semarang–Demak, dari itu saja akan menghilangkan luasan mangrove seluas 46 hektare. Kemudian, jelas akan kehilangan ekosistem mangrove yang di dalamnya banyak hewan, banyak supply pangan bagi biota laut,” ujar Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, Iqbal Alma kepada Greeners, Jumat (19/1).
Iqbal yang sekaligus sebagai anggota Koalisi MDS menambahkan, proyek pembangunan tanggul laut juga mengancam ekonomi warga. Sebab, ketika mangrove rusak, warga tidak bisa kembali memanfaatkan mangrove untuk perputaran ekonomi mereka. Misalnya, seperti memanfaatkan batang mangrove yang selama ini warga buat menjadi sebuah produk jual.
Ekosistem Mangrove Perlu Ditumbuhkan
Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) menegaskan, dalam hal ekosistem pantai, hutan mangrove perlu ditumbuhkan kembali. Menurut mereka, kawasan mangrove jangan direlokasi atau dihancurkan. Sebab, mangrove saat ini telah menjadi pelindung alami pesisir Pantura. Contoh nyata ada di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang.
“Padahal, sudah banyak cerita warga terkait. Misalnya, di Mangunharjo ada sejumlah keluarga yang menanam mangrove sejak tahun 2000-an hingga sekarang. Mangrove di sana sudah membentuk hutan-mangrove seluas 75 hektare,” tambah Iqbal.
Ada banyak dampak baik dari penanaman mangrove di wilayah pesisir. Manfaat yang warga rasakan yaitu tidak adanya rob, memulihkan daratan baru, memukul mundur laut, dan menciptakan ekosistem baru. Sehingga, nelayan pun mudah mendapatkan ikan.
“Kalau sekarang kita lihat dari Tol Tanggul Laut Semarang–Demak. Sekarang, proyek ini berdampak pada nelayan yang berada di tol tanggul laut. Sehingga, masyarakat tidak memiliki rute tidak memiliki akses keluar ke laut. Padahal, mereka butuh akses keluar ke laut untuk mencari ikan, tapi akhirnya tertutupi proyek ini,” kata Iqbal.
Adanya Kontra dengan Kondisi Ekologi Pantura Jawa
Koalisi MDS menilai, tanggul laut akan mengkonsentrasikan pembangunan dan aktivitas ekonomi di Pantura Jawa. Namun, hal ini kontraproduktif dengan kondisi ekologi Pantura Jawa yang mengalami amblesan tanah. Pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang semakin padat pasti mendatangkan beban dan membutuhkan air.
Saat ini, kebutuhan akan air untuk rumah tangga dan industri di Pantura Jawa banyak dipenuhi melalui ekstraksi air-tanah-dalam. Oleh sebab itu, konsentrasi ekonomi di Pantura Jawa yang datang bersama dengan tanggul laut akan semakin memperparah amblesan tanah. Hal ini melalui pembebanan fisik dan ekstraksi air-tanah-dalam yang akan semakin bertambah.
BACA JUGA: Walhi: Industri Pariwisata di Gunungkidul Ancam Kawasan Karst
Berdasarkan keterangan Koalisi MDS, tanggul laut juga menimbulkan ketimpangan geografis antara wilayah barat dan timur, antara wilayah daratan dan pesisir Pantura. Tanggul laut akan mengurangi dampak banjir di wilayah daratan, tapi merusak ekosistem di wilayah pesisir.
Selain itu, wilayah Pantura bagian timur akan menerima resiko hempasan gelombang laut akibat beban pembangunan di wilayah Pantura bagian barat. Terutama dalam kasus Tol Tanggul Laut Semarang–Demak.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia