Jakarta (Greeners) – Peneliti zoologi Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Evy Arida menyuarakan kritiknya kepada pemerintah perihal nihilnya kajian terkait Penataan Sarana dan Prasarana (Sarpras) di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo (TNK). Kritik ini terutama dia layangkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Terus terang kaget juga dalam beberapa hari ini dengan pemberitaan di media. Padahal, pembangunan semacam ini harusnya dibangun secara khusus, karena pasti skalanya besar karena melibatkan habitat komodo. Sangat disayangkan jika tidak dirapatkan atau dibahas dulu terkait kajiannya. Ini perlu dikritisi karena menyangkut satwa yang kita banggakan. Jadi, pembangunannya harus berhati-hati,” ujar Evy saat dihubungi Greeners melalui telepon, Selasa (27/10/2020).
Untuk informasi, populasi komodo di kawasan TNK berada di lima pulau utama, yaitu di Pulau Komodo, Rinca, Padar, Nusa Kode (Gili Dasami) dan Gili Motang. Di Flores, komodo tersebar di empat kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Wae Wuul, Wolo Tado, Riung, dan di Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau, tepatnya di Pulau Ontoloe. Selain itu, komodo juga ada di area hutan lindung, area penggunaan lain (APL) di pesisir barat dan utara Flores. Ada pula komodo yang berhabitat di areal KEE (Kawasan Ekosistem Esensial) Hutan Lindung Pota.
Baca juga:Ancam Kesehatan Anak, Pakar Desak Perketat Regulasi Timbal
LIPI: Tidak Ada Undangan Konsultasi Pembangunan Habitat Komodo dari Pemerintah
Sebagai peneliti komodo LIPI, lembaga ilmu pengetahuan satu-satunya di Tanah Air, Evy merasa pihak pemerintah belum pernah menghubunginya untuk berkonsultasi. Padahal, kajian untuk lebih memperhatikan habitat dan populasi komodo sangat urgen. Evy menjelaskan, pengaruh pembangunan terhadap habitat satwa sangat berdampak kepada para satwa penghuni.
“Saya belum pernah dihubungi perihal pembangunan penataan sarpras pariwisata yang khusus ini. Baru mendengar kabar pembangunan tiga hari ini, ternyata ada sesuatu yang khusus dirancang dan dibangun. Belum atau tidak ada undangan khusus untuk membentuk tim kajian ini saya tidak tahu. Tetapi biasanya jika menyangkut persoalan komodo, biawak dan reptil biasanya ke saya,” kata Evy.
Untuk mengonfirmasi pertanyaan Evy, Greeners mencoba menghubungi Kepala Bidang Zoologi LIPI, Cahyo Rahmadi. Cahyo pun mengemukakan hal yang sama. Dia tidak menemukan undangan resmi perihal kajian Penataan Sarana dan Prasarana di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo (TNK).
“Ternyata tidak ada, sudah saya cek. Nanti kalau ada info terkait surat tersebut saya update,” ujar Cahyo.
KLHK Klaim Batasi Pengembangan Wisata Alam
Sementara itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno menyampaikan, Kementerian PUPR akan menyampaikan hasil kajian melalui situs resmi.
“Nanti kita sampaikan hasil kajiannya. Saya berharap yang tertarik dengan kajian itu harus ikut ke sana (Pulau Rinca) supaya bisa melihat langsung, dampaknya seperti apa. Sabtu nanti saya bersama dengan PUPR akan meninjau langsung ke lapangan. Untuk hasil kajiannya melalui website Kementerian PUPR,” ujarnya pada konferensi pers diskusi media Penataan Sarpras di Loh Buaya Taman Nasional Komodo secara daring, Rabu (28/10).
Taman Nasional Komodo (TNK) mendapatkan label global pada 1980. TNK sebagai Cagar Biosfer (1977) dan Warisan Dunia (1991) oleh UNESCO, memiliki luas 173.300 Ha, terdiri dari 58.449 Ha (33,76%) daratan dan 114.801 Ha (66,24%) perairan. Dari luas tersebut, pemerintah menetapkan Zona Pemanfaatan Wisata Daratan 824 Ha (0,4%) dan Zona Pemanfaatan Wisata Bahari 1.584 Ha (0,95%).
“Menurut zona dan luasan TNK, pengembangan wisata alam sangat terbatas, hanya pada Zona Pemanfaatan tersebut. Ini prinsip kehati-hatian sejak perencanaan ruang kelola di TNK tersebut. Selain itu, setiap harinya ada 10 ranger yang memastikan bahwa sebelum pekerjaan pembangunan mulai ada pemeriksaan di kolong-kolong bangunan atau reruntuhan dan juga kolong truk,” ujar Wiratno.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi