Jakarta (Greeners) – Hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss) di Indonesia yang terjadi setiap tahun, disebabkan oleh fragmentasi hutan, pertanian intensif, masuknya jenis asing invasif, pertambangan, pencemaran, dampak perubahan iklim, dan karhutla. Sekretaris Jendral Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menyatakan, diperlukan regulasi yang dapat mengakomodasi fungsi konservasi dan pembagian manfaat (benefit sharing) sesuai tujuan konservasi keanekaragaman hayati, serta dukungan terhadap penegakan hukum.
Menurut Bambang, jika merujuk data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2014, Indonesia memiliki 1.500 jenis alga, 80.000 jenis tumbuhan berspora, 595 jenis lumut kerak, 2.197 jenis paku-pakuan, sekitar 30.000 – 40.000 jenis flora tumbuhan berbiji (15,5% dari total jumlah flora di dunia), 8.157 jenis fauna vertebrata, dan 1.900 jenis kupu-kupu (10% dari jenis dunia).
“Perlu adanya integrasi semua kementerian dan lembaga dalam menjaga dan membuat keanekaragaman hayati kita bermanfaat,” katanya, Jakarta, Rabu (01/02).
BACA JUGA: Basis Data Lemah, Indonesia Tidak Maksimal Sampaikan Aichi Target pada COP CBD 13
Bambang menyatakan, KLHK sebagai National Focal Point dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), memiliki peran kunci dalam mensinergikan program-program terkait keanekaragaman hayati, baik pada tataran nasional maupun daerah. Sinergitas dapat dilaksanakan dengan dukungan kelembagaan yang tepat, mencakup mekanisme, sumber daya manusia, pendanaan, serta sistem pengawasan dan evaluasi yang efektif dan efisien.
Selain itu, dalam pengelolaan pertanian dan perikanan, perlu penguatan kebijakan yang sejalan dengan NBSAP (National Biodiversity and Action Plan) untuk mencapai Aichi Biodiversity Target dan Sustainable Development Goals (SDG). Pembangunan kerjasama antara aliansi pemerintah, produsen, swasta, industri makanan, transportasi, perdagangan dan konsumen juga penting untuk dilakukan.
“Tahun 2017 sebagai Tahun Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Internasional juga dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat terhadap konservasi keanekaragaman hayati,” tambahnya.
BACA JUGA: Hukuman Ringan, Angka Perdagangan Satwa Liar Terus Meningkat
Sehubungan dengan hal itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam menyatakan, berdasarkan hasil evaluasi atas dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) pertama yang disusun pada tahun 2003 untuk dijadikan acuan dalam menjaga dan mengelola keanekaraman hayati hingga 2020, ditemukan kurangnya dukungan politik terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati Indonesia.
Selain dukungan politik, Bappenas juga melihat terdapat kekurangan dalam sosialisasi pemahaman, hingga kapasitas sumber daya manusia dalam memahami isu keanekaragaman hayati. Dukungan dari pemangku kepentingan lain di luar pemerintahan juga dinilai masih minim.
“Contoh konkritnya itu jelas dana. Berdasarkan hasil evaluasi kami, dalam kawasan konservasi kita ada gap US$13,5 per hektarenya,” ujar Medrilzam.
Penulis: Danny Kosasih