Jakarta (Greeners) – Draf revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang telah masuk di Kementerian Hukum dan HAM dianggap kurang terbuka, lemah dan memberi peluang perusakan lebih lanjut di kawasan gambut.
Atas dasar kekhawatiran tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global awal pekan ini telah mengirimkan surat kepada kementerian terkait yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM serta Sekretaris Negara yang memuat masukan dari koalisi LSM untuk memperkuat PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan tertutupnya proses revisi makin memperburuk citra pemerintah tentang konsep pemerintahan yang baik terutama di sektor pengelolaan hutan. Menurutnya, pemerintah gagal melihat publik sebagai bagian dari pihak yang berkepentingan atas hutan. Sementara itu implementasi kebijakan peta tunggal (One Map) yang masih tesendat, makin mengaburkan kemana arah komitmen perlindungan hutan dan gambut Presiden Jokowi.
“Sejak tahun lalu, Presiden Jokowi telah mengumumkan banyak poin penting dari perlindungan gambut yang kemudian menjadi harapan akan terwujudnya perlindungan gambut yang lebih kuat. Termasuk mulai dari perintah untuk tidak lagi memberi izin baru bagi perkebunan sawit, serta pembangunan sekat kanal juga restorasi. Namun sayangnya pada PP yang ada atau rancangan revisi yang beredar mengaburkan komitmen presiden,” katanya, Jakarta, Rabu (01/06).
Sementara itu, Esau Nur Yaung, Direktur Yayasan Paradisea mencontohkan keterancaman gambut seluas 1.022.045 hektar di Papua Barat. Ia mengatakan, berdasarkan ancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Papua Barat, 83% lahan gambut masuk dalam fungsi budidaya dan hanya 17% yang masuk dalam fungsi lindung. Lahan gambut yang masuk Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) pun semakin sedikit, yakni hanya seluas ± 551.315 Ha.
“Itu pun terdapat tumpang tindih lahan perkebunan dengan lahan gambut seluas ± 18.306 Ha dan tumpang tindih industri sagu di lahan gambut ± 51.770 Ha,” jelasnya.
Sekretaris Jendral Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono mengatakan bahwa yang menjadi poin dalam revisi PP Nomor 71 Tahun 2014 sebenarnya berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan melalui tiga komponen utama yaitu pencegahan, penanggulangan dan pemulihan dengan di dalamnya juga dimasukkan dalam klausul tentang restorasi gambut.
“Jadi pengendalian kebakaran hutan dan lahan itu diawali dengan pencegahan supaya tidak ada api. Tapi kalau terlanjur, harus ada penanggulangan. Nah kalau sudah selesai ditanggulangi kemudian dilakukan pemulihan. Khusus di wilayah gambut itu akan direstorasi,” tutur Bambang.
PP Nomor 71 Tahun 2014 juga akan mengatur tentang kawasan hidrologi gambut (KHG). Nantinya, KHG akan menjadi dasar bagi perusahaan untuk menentukan zonasi lindung dan zonasi budidaya.
“KHG kan sudah ada. Kemudian dipetakan menggunakan satelit dan dari situ dilakukan zonasi lindung dan zonasi budidaya. Zonasi lindung itu diharapkan menyimpan air begitu besar. Kubah gambut namanya. Jadi ketika musim kemarau tetap tergenangi. Ketika di zonasi lindung itu ada tanaman, tanamannya harus jenis yang sesuai dengan daerah itu. Di zonasi budidaya juga sama. Ketika ditanami jenis-jenis tanaman yang tidak sesuai harus ada teknologi supaya arealnya tetap basah,” katanya lagi.
Dalam PP Nomor 71 Tahun 2014 disebutkan bahwa pengelolaan gambut oleh konsesi juga harus dilakukan berbasis sosial. Pemerintah berharap tidak ada lagi penanaman pohon monokultur yang biasa dilakukan masyarakat.
“Artinya sosialisasi, penyuluhan dan sebagainya diperlukan. Kita kan punya desa bebas api. Ada 700 desa rawan kebakaran, dengan pendekatan desa ini kita bangun sistem pencegahan dengan deteksi dini hotspot. Jangan ada api lagi lah di gambut. Kalau ada api segera padamkan dengan semua kekuatan stakeholder,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih