Jakarta (Greeners) – Indonesia saat ini tengah berada dalam ancaman bencana alam yang tinggi. Hal itu semakin dipertegas Presiden Joko Widodo saat Rapat Koordinasi Nasional BMKG bahwa jangan membangun perumahan, bandara, atau bendungan di lokasi yang rawan bencana.
Namun, hal ini tidak diimplementasikan dengan baik oleh beberapa perusahaan maupun pemda yang menerbitkan izin untuk membangun projek pariwisata dan properti di kawasan pesisir.
Salah satu contoh kebijakan nasional yang membuat rakyat berpotensi menjadi korban bencana terjadi di Provinsi Bali. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 pada 30 Mei 2014 membuka keran Investasi di daerah rawan bencana di Teluk Benoa.
BACA JUGA : LIPI: Pemindahan Ibu Kota Negara Harus Memerhatikan Ancaman Bencana
Terkait dengan konteks kebencanaan di Bali, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) pada 1 Agustus 2019 secara resmi mengirimkan Surat Terbuka : “Desakan Penghentian Mengaproyek Di Kawasan Rawan Bencana Bali Selatan kepada Presiden”.
Pada pokoknya, surat tersebut memaparkan tentang fakta yang menunjukkan Bali Selatan sebagai kawasan rawan bencana dan desakan pembatalan berbagai megaproyek dl kawasan rawan bencana.
Suriadi Darmoko selaku Koordinator Divisi Politik ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi) mengatakan Teluk Benoa dan sekitarnya (Bali Selatan) merupakan area yang berhadapan langsung dengan zona megathrust di mana segment Bali memiliki potensi gempa magnitudo maksimum 9,0.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam daftar desa kelas bahaya sedang dan tinggi tsunami di Bali khususnya di Kuta dan Denpasar Selatan terdapat 19 desa atau kelurahan dalam kelas bahaya tinggi tsunami. Kawasan perairan Teluk Benoa dan sekitarnya juga rawan likuifaksi dengan skenario gempabumi magnitudo 7,2 SR.
“Di kawasan tersebut terdapat empat mega proyek berbasis sektor pariwisata dan properti yakni rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 700 ha, perluasan pelabuhan Benoa dengan cara reklamasi, perluasan Bandara dengan cara reklamasi seluas 14.145 ha termasuk rencana pembangunan Bali sport hub yang diwacanakan oleh Bupati Badung seluas 50 ha yang harus dibatalkan karena berada di kawasan rawan bencana,” ujar Suriadi pada konferensi pers “Tanpa Beban Masa Lalu, Mampukah Presiden Jokowi Batalkan Megaproyek di Kawasan Rawan Bencana?” di Kantor Eksekutif WALHI, Jakarta, Selasa (13/08/2019).
Suriadi mengatakan atas kondisi tersebut seharusnya Presiden dengan tegas melakukan pencabutan Perpres 51/2014 yang merupakan perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Dan Tabanan. Untuk dikembalikan ke posisi Teluk Benoa kembali menjadi kawasan konservasi.
“Jika Perpres 51/2014 tersebut dicabut dan dikembalikan kepada Perpres 45/2011 ada dua proyek yang izinnya tidak bisa diterbitkan atau dibatalkan yakni reklamasi Teluk Benoa seluas 700 ha dan pembangunan Bali sport hub yang diwacanakan Bupati Badung seluas 50 ha. Karena reklamasi tidak dapat dilakukan di kawasan konservasi dan alur laut,” ujar Suriadi.
Potensi ancaman gempa itu pun dikonfirmasi oleh Peneliti Geologi Sedimen dan Tektonik LIPI Muhammad Maruf Mukti mengatakan di sepanjang tepian Barat Sumatera, Selatan Jawa dan Bali memang ada zona subduksi yang berpotensi menyebabkan gempabumi.
BACA JUGA : BNPB: 1.586 Bencana Terjadi Sejak Januari Hingga April 2019
“Karena namanya potensi, kita tidak tahu kapan akan terjadi dan lebih baik kita lakukan memang selalu bersiaga. Jika memang ada pembangunan di sekitar wilayah tersebut, seharusnya pembangunan dilakukan berstruktur dan sudah mengikuti acuan,” ujar Maruf saat dihubungi oleh Greeners.
Sementara itu, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI mengatakan jika saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki kesiapsiagaan bencana pembangunan berarti pemerintah sedang menyiapkan kuburan masal untuk masyarakat dan wisatawan kalau benar pembangunan di kawasan Teluk Benoa tetap dilanjutkan.
“Banyak sekali proyek-proyek strategis nasional yang pembangunannya berada di kawasan rawan bencana dan berpotensi bencana di masa depan. Jadi seharusnya pemerintah bisa mengkaji secara menyeluruh rencana-rencana tersebut,” ujar Yaya.
Penulis: Dewi Purningsih