Jakarta (Greeners) – Populasi harimau semakin menyusut. Habitatnya terancam alih fungsi lahan. Butuh upaya lebih serius mencegah agar harimau tidak punah.
Di alam, harimau merupakan salah satu indikator ekosistem yang sehat. Tidak hanya sebagai predator, satwa ini penting yang menyeimbangkan ekosistem dan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.
Sayangnya, berdasarkan analisa global tahun 2010, habitat harimau menyusut tajam. Hanya tersisa sekitar 7 % saja dari wilayah jelajahnya seabad sebelumnya.
Cho Chair IUCN Indonesia Species Specialist Group (IdSSG), Sunarto mengatakan, hutan alam merupakan habitat utama harimau. Namun, luas tutupan hutan alam terus berkurang dan belum membaik hingga kini.
“Meskipun harimau dapat sesekali melintas di perkebunan, tanpa hutan luas yang terjaga mereka tidak akan dapat bertahan untuk jangka panjang,” kata Sunarto kepada Greeners baru-baru ini.
Dari sembilan anak jenis harimau yang pernah ada, tiga di antaranya yakni harimau bali, harimau jawa dan harimau kaspia telah punah. Harimau yang tersisa pun semua terancam punah. Dengan status genting yaitu (harimau amur, harimau indochina, harimau malaya, harimau bengal), dan kritis (harimau china selatan dan harimau sumatra).
Harimau sumatra menjadi satu-satunya yang tersisa di Indonesia. Populasinya hanya sekitar 400-500 ekor di hutan-hutan Sumatra (taman-taman nasional).
Sunarto yang juga ekolog satwa liar menambahkan, hutan-hutan primer di Sumatra yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi perlu dikelola dan dirawat dengan baik. Sebab, hutan seperti itu merupakan habitat inti harimau.
Kemudian, di luar habitat inti, harimau perlu menjelajah dan memerlukan kesinambungan habitat baik dalam bentuk koridor ataupun mosaik penggunaan lahan yang ramah satwa. Semuanya perlu dikelola secara terintegrasi.
Kehidupan Harimau Terancam
Saat ini ada sejumlah tekanan terhadap populasi harimau. Penyempitan serta berkurangnya kualitas habitat masih menjadi ancaman yang pertama.
Kedua, kehidupan harimau belum luput dari perburuan dan perdagangan gelap satwa. Meskipun teorinya harimau Sumatra adalah spesies dilindungi, tetapi dalam kenyataannya bagian tubuh harimau cukup marak diperdagangkan di pasar gelap. Terutama untuk obat tradisional.
Terkadang harimau anakan juga diperjualbelikan untuk satwa peliharaan. Oleh karena itu, perburuan tidak hanya mengancam harimau secara langsung, namun juga satwa mangsa (seperti rusa dan ungulata lainnya).
Belum lagi ancaman wabah penyakit. Penyakit tidak hanya dapat menyebabkan kematian pada harimau, namun juga satwa mangsa. Akhir-akhir ini ada African Swine Fever (ASF), wabah yang sangat serius dan telah menyebabkan kematian massal dan kepunahan babi hutan di berbagai tempat khususnya di Asia Tenggara termasuk Sumatra dan Kalimantan.
Kemudian, pemeliharaan harimau oleh segelintir orang juga menjadi ancaman. Sunarto menilai, tidak ada keuntungan bagi konservasi atas praktik semacam itu. Justru sebaliknya, harimau yang dipelihara oleh orang-orang tertentu yang tanpa proses transparan telah memberi sinyal buruk serta pesan yang kurang menguntungkan bagi perlindungan dan upaya pemulihan harimau.
Siapkan Strategi
Oleh karenanya, pemerintah perlu menyiapkan strategi pemulihan untuk mengangkat status harimau dari kondisi kritis ke kondisi yang lebih aman. Pemerintah harus bersinergi dan memberikan insentif program pemulihan harimau dan satwa terancam punah lainnya.
Tak cukup hanya itu, masyarakat pun perlu berperan aktif dalam mendukung berbagai upaya pemulihan. Pada peringatan Hari Harimau Sedunia 29 Juli yang lalu, Yayasan Jejak Harimau Sumatera bersama Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) kota Bukittinggi, Sumatra Barat pun mengedukasi masyarakat.
“Kita juga tularkan virus positif soal konservasi satwa harimau sumatra ini. Sederhana saja, kita mencoba mengemas kegiatan ini sebaik mungkin,” ungkap Ketua Yayasan Jejak Harimau Sumatera, Adi Prima dalam keterangannya.
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : Ari Rikin