Jakarta (Greeners) –Polyethylene terephthalate (PET) jadi primadona di kalangan pelaku daur ulang sampah. Pemulung dan masyarakat pun sadar nilai rupiah dari botol (PET) dan mengumpulkannnya.
Itu pula yang dirasakan, Monica Anggraeni. Bermula dari kesadaran bernilainya sampah, ia mendirikan Bank Sampah Silaturahmi Warga Alfa Indah (Siwali) di RW 07 Taman Alfa Indah, Joglo, Kembangan, Jakarta Barat.
Bank sampah ini menerima semua plastik bernilai jual, termasuk botol plastik dan galon sekali pakai jenis polyethylene terephthalate (PET). Sampah anorganik ini nantinya akan didaur ulang. Selain bernilai tinggi. Jenis plastik ini konon mampu didaur ulang hingga 50 kali.
Monica menyebut, kemasan PET yang telah terkumpul dari para pemulung dan masyarakat akan ia kirim ke pengepul lalu ke pabrik pembuatan botol plastik baru. “Untuk harganya sesuai dengan jenis plastiknya,” katanya kepada Greeners, baru-baru ini.
Harga botol per kilogram bernilai Rp 3.000, untuk kemasan galon sekali pakai ia hargai Rp 5.000 per kilogram (kg). Sementara untuk barang-barang lain seperti ember plastik sekitar Rp 1.000 – Rp 3.000 per kilogram. Per harinya, bank sampah ini mengumpulkan hampir 8-10 kg botol dan galon PET.
Bank Sampah Siwali juga memilah botol atau galon untuk kemudian terpilah antara tutup, label dan kemasan PET-nya. “Kemasan PET kita kirim ke pusat daur ulang, lalu sisanya harus kita sisihkan,” imbuhnya.
Potensi Besar Plastik PET
Data Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) 2018 menyebut, dari konsumsi plastik sekitar 3 – 4 juta ton per tahun, bisnis daur ulang bisa mencapai 400.000 ton per tahun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Indonesia (ADUPI) Justin Wiganda mengatakan, daripada plastik-plastik jenis lain, potensi daur ulang PET sangat besar.
“Sebab selain PET itu masih susah daur ulangnya, seperti packaging makanan, sachet kopi, bumbu,” katanya.
Selain nilai jualnya yang tinggi, botol PET bisa diproses 100 % menjadi produk berharga. Itu artinya tak perlu lagi pembatasan atau larangan dalam penggunaannya.
Ia menyebut, bisnis daur ulang di Indonesia sangat maju. Bahkan hasil daur ulangnya telah banyak Indonesia ekspor hingga ke luar negeri. “Terlebih PET bisa didaur ulang hingga 50 kali. Ini sekaligus menghemat bahan baku produksi,” ungkapnya.
Sustainable Waste Indonesia (SWI) mengungkap, tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia masih menyentuh angka 7 %. Adapun untuk jenis plastik PET dan botol sekali pakai telah mencapai angka 75 %.
Jenis plastik PET berkontribusi besar dalam daur ulang, yaitu mencapai 30 % hingga 48 % dari total penghasilan para pengepul sampah. Sementara berdasarkan studi dalam IOP Science hampir setengah dari total pasar plastik global berasal dari Polyethylene (PE) dan PET dengan kontribusi sebesar 40 %.
Sebanyak 6.300 metrik ton (Mt) sampah plastik global tahun 2015, hanya 9 % berhasil didaur ulang, 12 % dibakar, dan sisanya berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA) (79 %).
Ekonomi Sirkular Daur Ulang Sampah
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, dari 68,5 juta ton sampah nasional, sebanyak 64 % timbulan sampah berhasil terkelola. Target zero waste pada tahun 2030 nanti menjadi PR besar, termasuk memastikan daur ulang yang sesuai dengan prinsip ekonomi sirkular.
KLHK mengeluarkan Permen LHK No 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Dalam Permen ini, produsen berkewajiban melakukan pembatasan penggunaan plastik, menggunakan kembali kemasan, dan daur ulang.
Proses daur ulang kerap menghasilkan berbagai produk, mulai dari produk kontak makan, seperti botol, alat makan, hingga keperluan rumah tangga seperti ember hingga gayung. Khusus untuk produk-produk kontak makan sangat berisiko tinggi karena bahan kimia berbahaya di dalamnya.
Kemasan PET mengandung berbagai bahan senyawa berbahaya dan berpotensi buruk pada kesehatan. Mulai dari kandungan antimon, asetildehid, hingga etilen glikol. BPOM telah mengatur keamanan produk kontak makan melalui Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Kemasan Pangan.
Pastikan Keamanan Produk Daur Ulang
Senior Advisor Nexus 3 Foundation Yuyun Ismawati menilai, daur ulang menjadi solusi pengurangan sampah plastik. Namun, ia menyoroti belum adanya panduan dalam praktik daur ulang tersebut.
”Produk daur ulang boleh untuk apa saja. Dan tak boleh untuk apa, misalnya produk kontak pangan dan mainan anak. Ini perlu kita dorong agar lebih detail,” tegasnya.
Hal ini terkait dengan kandungan bahan-bahan berbahaya dari PET yang menjadi pellets dan flakes. Ia menyebut belum adanya transparansi konsentrasi kandungan bahan-bahan seperti antimon hingga etilen glikol dari industri dan pendaur ulang kepada publik.
“Saat ini tidak ada keharusan industri untuk memunculkan informasi itu. Padahal kesesuaian dengan baku mutu harus ada mekanismenya yang jelas. Misalnya pihak pendaur ulang dan industri lapor ke BPOM, lalu pihak BPOM melakukan random check,” kata dia.
Selain itu, Yuyun juga meminta agar pemerintah mengawasi peraturan BPOM tersebut apakah sudah benar-benar terimplementasi.
“Ini agar tak sekadar menjadi panduan saja. Karena saat ini pendaur ulang banyak, ada yang skala menengah hingga kecil. Apakah sudah kita awasi semua?” ucapnya.
Industri Atur Standar Daur Ulang PET
Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengurangan Sampah Ditjen PSLB3 KLHK Ujang Solihin Sidik menyatakan, hingga saat ini belum ada data produksi botol PET di Indonesia.
Namun, industri telah mengatur sendiri standar daur ulang PET bergantung masing-masing peruntukannya. “Misalnya kalau menjadi botol minuman lagi maka harus berstandar food grade,” kata dia.
Dalam hal ini, KLHK juga berencana mengeluarkan SNI ecolabel untuk recycled content khususnya kemasan PET.
Penulis: Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin