Malang (Greeners) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut jumlah piutang negara di sektor pertambangan yang tidak tertagih mencapai Rp 2,5 triliun. Uang tersebut tidak tertagih karena berbagai faktor.
Tim korupsi pertambangan KPK, Jhonson Panjaitan dalam diskusi “Petaka Pengelola Tambang” di kantor Malang Corruption Watch, Senin (13/06/2016) malam, menyatakan, dana tersebut meliputi royalti, jaminan reklamasi dan pajak. Data tersebut diperoleh dari Bea dan Cukai, Pajak dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Jhonson, KPK terus berusaha menagih piutang negara tersebut dengan berbagai cara termasuk bekerjasama dengan sejumlah lembaga dan menyusun rencana aksi. “Di Jawa Timur, dari 347 tambang, 152 tambang berstatus non clean dan clear. Selain itu uang yang tak tertagih mencapai Rp 2,8 miliar,” katanya.
BACA JUGA: Antam Siapkan Program Pasca Berakhirnya Izin Usaha Tambang
Perizinan pertambangan marak diterbitkan bupati/wali kota menjelang pemilihan Kepala Daerah dan bertambah banyak ketika terpilih. Ia menyontohkan di Kalimantan Selatan, banyak modus pengusaha tambang mengelola Hak Tanaman Industri (HTI) tapi sejatinya mereka mengeruk batu bara.
“Setelah batu bara habis dieksploitasi, mereka meninggalkan lubang menganga yang mengandung limbah beracun berbahaya dan merusak lingkungan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Transparansi International Indonesia (TII), Dadang Tri Sasongko juga mengaku sulit menangani korupsi di sektor pertambangan. Dalam survei yang dilakukan TII terhadap lapangan usaha dengan risiko suap paling tinggi, pertambangan menempati urutan kedua.
BACA JUGA: 721 Izin Pertambangan Bermasalah Dicabut
Menurut Dadang, sekitar 5,2 persen dari total anggaran produksi digunakan untuk suap dalam berbagai bentuk donasi politik saat pemilihan kepala daerah dan uang pelicin. “Suap di sektor tambang terjadi mulai hulu sampai hilir,” ujar Dadang.
Dadang menyatakan, sumber daya alam merupakan aset publik yang banyak dikorupsi. Persoalannya kompleks dan terjadi melalui kerjasama antara swasta, politikus, penegak hukum dan birokrat. Sehingga tidak heran apabila aparat penegak hukum lemah dalam menangani persoalan pertambangan. Di sisi lain, peran pengawas dari masyarakat sipil juga minim.
Penulis: HI/G17