Jakarta (Greeners) – Pakaian bekas hasil thrifting dinilai mengancam produk lokal. Tak cukup hanya dengan larangan thrifting, produk lokal salah satunya pakaian eco friendly juga butuh dukungan pemerintah agar bisa masyarakat minati dan miliki dengan harga yang terjangkau.
Adanya pilihan yang menarik dengan harga kompetitif secara tidak langsung akan membangun iklim sehat agar produk lokal semakin berjaya.
Pakaian bekas sengaja menawarkan tren terkini dari brand-brand ternama dengan harga murah meriah. Namun, di sisi lain pakaian eco friendly justru sedikit menawarkan model tapi sifatnya berkelanjutan karena lebih menekankan bahan dan proses yang ramah lingkungan.
Salah satu penggemar pakaian bekas Mei Budi menyatakan lebih menyukai pakaian bekas hasil thrifting. Selain harganya yang relatif jauh lebih murah daripada pakaian eco friendly, modelnya juga berbagai macam.
“Sehingga kita bisa ganti-ganti gaya dengan banyak pakaian yang branded. Sebenarnya kalau aku thrifting juga tak pernah mikir dampaknya ke lingkungan sih,” katanya kepada Greeners, baru-baru ini.
Berbekal uang Rp 500.000 dalam sekali thrifting ternyata perempuan berhijab ini mengaku mampu membeli lima hingga 10 pakaian. Ia juga kerap memadukan berbagai aksesoris dari hasil thrifting ini.
“Tapi aku orangnya mudah bosan. Kalau aku udah jenuh paling tak terpakai lagi,” imbuhnya.
Berbeda halnya dengan Mei, Utami merupakan salah satu penggemar produk-produk berkelanjutan, termasuk dalam pakaian. Karena harganya terlalu mahal, ia hanya membeli beberapa produk saja yang menurutnya penting dengan model yang bisa kita gunakan untuk jangka panjang.
“Misalnya aku beli produk yang mahal harganya paling murah Rp 500.000 itu tapi jangka panjang dan bisa kita pakai hingga lima tahun bahkan lebih,” ungkap Utami.
Dukungan untuk Produk Eco Friendly Krusial
Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi mendorong agar pemerintah memberikan dukungan khusus untuk industri lokal eco friendly.
Menurutnya pemerintah harus membuka peluang ini untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya produk ramah lingkungan.
“Mungkin pakaian bekas ini menggiurkan karena murah dan banyak barang branded. Tapi ini menggilas produk dalam negeri dalam jangka panjang. Sudah saatnya pemerintah merangkul dan mendukung brand lokal ramah lingkungan,” kaya Sularsi.
Misalnya, pemerintah bisa memberikan insentif agar masyarakat bisa membeli produk-produk ramah lingkungan.
Ia juga berharap, pemerintah benar-benar menuntaskan industri pakaian bekas ini karena potensi dampak buruknya terhadap kesehatan.
“Kemendag pernah melakukan studi untuk pakaian thrifting ini memang ada banyak bakteri dan virus, seperti bakteri E. Coli,” ungkapnya.
Produk Daur Ulang
Salah satu brand eco friendly Eco Touch concern untuk mendaur ulang berbagai bahan pakaian hingga menjadi produk baru seperti jaket hingga peredam bangunan ramah lingkungan.
Brand Marketing Eco Touch, Agnes Kiki sepakat dengan larangan impor. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia lebih baik mengelola sampah lokal ataupun pakaian bekas lokal yang ada dan justru tak menambah dari luar negeri.
“Kami bisa olah pre waste dan post consumer waste kurang lebih total dengan kapasitas 20 ton per hari. Kalau untuk saat ini yang kita kelola sehari kurang lebih 8 ton per hari,” ucapnya.
Menurutnya, harga produk-produk ramah lingkungan terkesan mahal daripada produk biasa. “Tapi bila mempertimbangkan dari pemilihan material, proses pembuatan, dan ketahanan pemakaian jangka panjang justru bisa kita bilang eco friendly dan lebih ekonomis,” imbuhnya.
Ia mendorong pemahaman terkait produk eco friendly harus pemerintah suarakan dan mendorong masyarakat semakin aware dan lebih bijak dalam berkonsumsi.
Memikirkan Pengelolaan Sampah Pakaian
Sementara Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyatakan, perlu kehati-hatian menyikapi impor tekstil yang marak akhir-akhir ini merujuk pada bahaya kesehatan.
“Kita dapat melakukan thrifting dengan niatan untuk mengurangi sampah tekstil, bisa dengan memilih produk bekas lokal yang berkualitas. Atau mewariskan pakaian ke keluarga terdekat hingga bisa meletakkan pakaian bekas ke dropbox yang tersedia oleh vendor gerai tekstil,” tuturnya.
Ia menambahkan, industri fesyen dalam negeri sudah perlu memikirkan pengelolaan sampah pakaian bekasnya untuk diolah menjadi serat kain dan untuk tekstil daur ulang.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin