Jakarta (Greeners) – Menjaga keberlangsungan flora dan fauna di alam liar harus dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, aktivis lingkungan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi hingga masyarakat. Setidaknya begitulah yang diyakini oleh seorang fotografer alam liar, Riza Marlon. Berdasarkan pengalamannya keluar masuk hutan untuk mengambil gambar satwa-satwa yang hampir tidak pernah ditemui oleh sembarang orang, ia mengakui ada banyak faktor yang menyebabkan satwa-satwa yang masuk dalam daftar Critically Endangered (Kritis) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Penulis buku “Living Treasures of Indonesia” mengatakan, salah satu faktor keterancaman satwa-satwa di alam liar adalah ketidaktahuan masyarakat setempat tentang pentingnya keberadaan satwa di lingkungan mereka. Ia memberi contoh soal keberadaan Elang Flores. Keberadaan burung pemangsa endemik flores (Nusa Tenggara) ini seringkali dimangsa karena dianggap sebagai hama oleh masyarakat. Padahal, IUCN telah memasukkannya dalam Daftar Merah IUCN (IUCN Redlist) sebagai satwa yang kritis dan terancam punah.
BACA JUGA: BBKSDA Jawa Barat Amankan 12 Ekor Satwa Liar Dilindungi
“Dua tahun saya mencari info soal sarang Elang Flores ini dengan target untuk saya masukkan dalam buku saya tapi tidak dapat. Hingga akhirnya saya mendapat informasi tentang keberadaan satwa ini di Taman Nasional Kelimutu. Sulitnya menemukan satwa liar ini ternyata karena telah banyak dijerat oleh masyarakat karena dianggap hama yang sering memangsa ayam warga. Padahal IUCN sudah mencatat jumlah mereka itu sudah kurang dari 100 pasang,” ceritanya kepada Greeners, Jakarta, Rabu (28/06).
Selain Elang Flores, ia juga memberi contoh tentang keberadaan Gagak Banggai yang juga masuk dalam daftar merah IUCN. Burung bernama latin Corvus enca ini sudah sulit ditemui karena pohon-pohon tempat mereka bersarang telah banyak ditebangi oleh masyarakat. Padahal sifat burung ini, dikatakannya, hanya akan bersarang di pohon-pohon tertentu yang dianggap memenuhi kebutuhannya. Namun, ketika pohon-pohon tersebut ditebang, burung-burung ini pun menghilang dan sulit untuk kembali ditemukan.
“Padahal burung itu cuma bersarang di satu pohon. Bisa dibayangkan kalo pohon itu ditebang dia akan nyari lagi kan pohon yang aman sesuai kebutuhan mereka,” tambah pria yang akrab disapa Om Caca ini.
BACA JUGA: Banyak Jaksa yang Belum Paham Konservasi Satwa Liar
Untuk mengatasi permasalahan ini, ia meyakini kalau kepedulian dan pengetahuan dari semua pihak sangat dibutuhkan. Menurutnya, pemahaman tentang konservasi milik bersama harus benar-benar diterapkan agar setiap lembaga, instansi, pemerintah maupun masyarakat tidak saling menyalahkan. Termasuk dirinya yang memiliki latar belakang Biologi juga harus menjadi perantara untuk menyebarkan pengetahuan dan informasi terkait satwa liar Indonesia yang dilindungi kepada masyarakat.
“Menurut saya konservasi itu adalah milik bersama. Jadi bukan milik pemerintah, LSM, teman-teman peduli lingkungan saja atau masyarakat saja. Artinya konservasi itu milik bersama kita harus jaga sama-sama, bukan artinya kita main salah-salahan. Pengetahuan tentang satwa-satwa yang sudah terancam punah dan masuk daftar IUCN itu juga kan enggak sampai ke masyarakat. Tugas kita bersama juga untuk menyampaikannya,” kata Om Caca.
Sebagai informasi, tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri telah menetapkan 25 satwa prioritas yang harus dilindungi. Penetapan satwa langka dan harus dilindungi sangat dibutuhkan mengingat bisnis satwa langka ilegal di Indonesia adalah bisnis yang menjanjikan. Ke 25 satwa prioritas yang dimaksud antara lain harimau sumatera, gajah sumatera, badak jawa (Rhinoceros sondaicus), badak sumatera (Dicherorhinus sumatrensis), banteng jawa, owa jawa, orangutan dan bekantan.
Penulis: Danny Kosasih