Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan untuk melakukan impor garam sebanyak 3,07 juta ton. Angka impor garam ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2020 yang tercatat sebanyak 2,7 juta ton.
Jakarta (Greeners) – Menanggapi hal ini Petani garam sekaligus Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) Waji Fatah Fadhilah, mengatakan impor garam sangat merugikan petani karena harga garam menjadi murah dan anjlok.
“Jelas ada unsur kesengajaan (impor garam). Karena impor dilakukan di bulan-bulan kenaikan garam petani. Maret hingga Mei harga garam petani itu naik, tapi pemerintah malah mengimpor. Kemudian, berakhirnya impor di penggarapan petani garam, apa tidak hancur kita ini,” ujar Waji kepada Greeners melalui sambungan telepon, Selasa, (23/03/2021).
PPGI: Alasan Pemerintah Mengimpor Garam Tidak Masuk Akal
Waji mengatakan bahwa dirinya dan 81 anggota di bawah PPGI setidaknya bisa menghasilkan garam 110 hingga 125 ton per siklus atau selama empat bulan di lahan seluas 200 ha yang berada di Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat.
Menurut Waji, alasan impor garam pemerintah yang mengatakan untuk komoditas garam industri sangatlah tidak masuk akal. Karena sebenarnya, lanjut Waji, komoditas dan hasil petambak garam di Indonesia sangat melimpah.
Dia mereken, alasan pemerintah terkait tidak terserapnya garam rakyat oleh industri yakni karena Natrium Klorida (NaCL) garam rakyat kurang dari 97 persen. Pemerintah menyebut industri menetapkan NaCL garam harus di atas 97 persen.
“Jika alasannya garam untuk industri harus di atas 97 persen, garam kami memenuhi itu. Karena setiap panen saya lab terus, ternyata hasilnya garam rakyat itu di angka 96-97 persen artinya seharusnya itu memenuhi syarakat untuk garam industri,” ujar Waji.
Diketahui bahwa garam industri yang dimaksud untuk memenuhi kebutuhan industri petrokimia, pulp dan kertas, farmasi dan kosmetik, aneka pangan, pengasinan ikan, tekstil, penyamakan kulit, pakan ternak, pengeboran minyak, sabun dan detergen, serta industri lainnya.
PPGI: Pemerintah Tidak Berpihak pada Petambak Garam Tanah Air
Hal yang sama juga disampaikan Amin Abdullah, Dewan Presidium PPGI. Dia menyatakan pemerintah Indonesia sejak lama tidak pernah serius menunjukkan keberpihakan kepada petambak garam di Indonesia yang telah berjasa memproduksi garam.
Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia tidak memiliki peta jalan yang komprehensif dan bersifat jangka panjang untuk membangun kedaulatan pergaraman.
“Impor garam yang terus berulang setiap tahun membuktikan Pemerintah Indonesia tak berpihak kepada petambak garam nasional. Sebaliknya, hal ini menunjukkan keberpihakan Pemerintah Indonesia ditujukan hanya untuk para importir besar garam dan negara asing seperti Australia, China dan India,” tegas Amin Abdullah.
Amin Abdullah lalu merinci impor garam Bumi Pertiwi sejak 2017.
- 2017 impor garam dari Australia mencapai 2,29 juta ton.
- 2018 impor garam dari Australia mengalami peningkatan menjadi 2,6 juta ton.
- 2019 impor garam dari China sebanyak 568 ribu ton.
- 2019 impor garam dari India 719,55 ribu ton.
- 2020 impor garam dari China meningkat menjadi 1,32 ribu ton.
- 2020 impor garam dari Australia tercatat sebanyak 2,22 juta ton.
- 2020 impor garam dari India 373,93 ribu ton.
Baca juga: Warga Gunung Layung Tolak Pertambangan Batu Bara
Kiara desak KPK Usut Penentuan Kuota Impor Garam
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengaku tidak aneh dengan kebijakan impor garam tahun 2021 yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Sebelumnya, lanjutnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
Dia mengatakan PP ini tidak berpihak terhadap kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan petambak garam Indonesia. Sebaliknya PP tersebut semakin mempermudah impor komoditas perikanan dan pergaraman yang selama ini hanya menguntungkan segelintir orang yakni pengimpor
“Beberapa tahun lalu, garam industri ada yang dikemas ulang dan masuk pasar local. Akibatnya garam rakyat jeblok,” jelas Susan kepada Greeners, Senin (22/03/2021).
Menurut Susan, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berani mengusut bagaimana penentuan kuota impor garam yang memiliki potensi korupsi cukup tinggi. Hal ini dikarenakan kuota setiap tahun yang berbeda-beda.
Selanjutnya, kata Susan, impor garam ini semakin dipermudah dengan disahkannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pada pasal 37 ayat 1 UU Cipta Kerja disebut bahwa Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman.
Lalu, sambungnya, pasal ini dijabarkan dalam PP No. 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perikanan dan Kelautan dan Perikanan pasal 289 yang menyebut tidak ada batasan waktu impor garam.
“Dengan UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 lengkap sudah nasib buruk petambak garam nasional sekaligus masa depan pergaraman Indonesia. Indonesia akan menjadi negara importir garam terbesar dan tergantung kepada negara lain,” pungkas Susan.
Penulis: Dewi Purningsih