Jakarta (Greeners) – Meski lebih dari 70 persen permukaan bumi terdiri dari air, namun itu tidak berarti sumber daya air yang dimiliki bumi ini melimpah apalagi tak pernah habis. Kenyataannya, masih banyak wilayah di beberapa negara termasuk Indonesia yang hanya bisa sedikit mengonsumsi air.
Hal tersebut diutarakan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Menteri Lingkungan Hidup pertama di era kabinet Pembangunan III tahun 1978-1983, Profesor Emil Salim. Menurut Emil, penghematan konsumsi air sangat diperlukan karena kenyataannya, konsumsi air oleh masyarakat bukan hanya untuk air minum semata, tapi juga termasuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, masak dan lain-lain.
“Kita semua adalah bagian dari masyarakat yang memiliki peran dalam melestarikan air dan lingkungan. Kita tak bisa menyerahkan semua tanggung jawab pada satu pihak saja karena masalah air adalah masalah kita semua,” ujar Emil saat menjadi pembicara pada diskusi “Pelestarian Air dan Lingkungan Sebagai Tanggung Jawab Bersama”, di Belly Clan Restaurant, Jakarta, Kamis (09/07) kemarin.
Selain itu, Emil juga mengingatkan bahwa air bersih di Indonesia bukanlah sebuah kemudahan karena di antara 17.000 pulau-pulau di Indonesia, masih banyak warga di daerah yang kekurangan air.
Untuk itu, Emil mengingatkan kepada pihak swasta yang dalam hal ini ditujukan kepada Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) bermerek Aqua untuk mengembalikan jumlah air yang telah mereka eksploitasi. Menurut Emil, jika tidak ada keseimbangan dalam penggunaan air, maka dampak perubahan iklim akan semakin dirasakan.
Sementara itu, Sustainable Development Director PT Tirta Investama (Aqua Group) Karyanto Wibowo pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan penyeimbangan seperti yang diutarakan oleh Profesor Emil. Salah satunya adalah dengan menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Lingkungan Hidup untuk menanam kembali pohon sebanyak 12 juta pohon dalam setahun.
“Meski belum seratus persen, namun kami masih terus akan berupaya mendorong inisiatif untuk mengembalikan air pada alam. Seperti upaya pelestarian daerah aliran sungai (DAS), di mana pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, LSM, akademisi dan masyarakat,” jelas Karyanto.
Di lain sisi, Arsitek Perkotaan sekaligus inisiator Indonesia Berkebun, Sigit Kusumawijaya bahkan memaparkan bahwa ada sebuah konsep perhitungan jejak air atau water footprint untuk mengindikasikan jumlah air yang digunakan individu, komunitas maupun industri saat memproduksi barang. Perhitungan air itu diartikan secara virtual dari pemakaian air hujan (green water footprint), air permukaan atau air tanah (blue water footprint) hingga air untuk mengolah limbah atau (grey water footprint).
Sebagai contoh, untuk memproduksi satu kilogram daging dibutuhkan 15.000 liter air dan 8.000 liter air untuk memproduksi sebuah celana jeans. Hal itu menunjukkan konsumsi atas barang-barang tersebut jauh lebih banyak dari rata-rata air yang dikonsumsi per hari yaitu, sekitar delapan liter.
“Meski hanya sebagai indikasi virtual, tuturnya, namun secara ilmiah perhitungan jejak air harus memberikan kesadaran bagi manusia untuk mulai berpartisipasi melestarikan air. Sebagai contoh yang sederhana, cukup dengan bijak memilih produk yang efisien terhadap penggunaan air dalam proses produksinya,” tukasnya.
Penulis: Danny Kosasih