Hasil Kesepakatan Pendanaan Iklim di COP29 Masih Jauh dari Kebutuhan

Reading time: 2 menit
Pendanaan iklim di COP29 masih jauh dari kebutuhan. Foto: Freepik
Pendanaan iklim di COP29 masih jauh dari kebutuhan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Hasil perundingan program kerja mitigasi pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) dinilai mengalami kemunduran dibandingkan COP sebelumnya. Salah satu masalah utama adalah kegagalan pendanaan iklim yang tidak memadai untuk negara berkembang.

Menurut Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, kegagalan pendanaan ini memperlebar kesenjangan dan membahayakan kelompok rentan.

“Negara maju yang berjanji untuk menyediakan dana iklim sebesar 300 miliar USD dari sumber publik masih jauh dari kebutuhan riil sebesar 2,5 triliun USD,” kata Syaharani.

BACA JUGA: Greenpeace Desak Pencemar Bayar Dampak Kerusakan Lingkungan

Bahkan, target pendanaan sebesar 1,3 triliun USD yang diharapkan tercapai pada tahun 2035 pun berpotensi menjadi beban utang bagi negara-negara miskin dan berkembang.

Ironisnya, ada usul pasar karbon menjadi bagian dari skema pembiayaan. Hal itu kian mengabaikan prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) yang seharusnya meringankan beban negara miskin dan berkembang.

“Ketidakpastian aliran dana tanpa syarat ini memperluas dampak buruk perubahan iklim. Bahkan, semakin membahayakan kelompok rentan yang memiliki kapasitas adaptasi terbatas,” tambah Syaharani.

Selain itu, komitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil malah hilang, sementara bahan bakar fosil justru mendapat tempat dalam pembahasan. Syaharani menilai kondisi ini membuka peluang untuk mengembangkan teknologi solusi sesat. Hal ini dapat mengancam investasi dan memboroskan dana publik yang seharusnya mendukung transisi energi yang berkeadilan.

Kegagalan Alokasi Dana

Sementara itu, menurut Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), COP29 tidak cukup mengalokasikan dana untuk kepentingan dan kebutuhan negara-negara berkembang dalam menghadapi dampak krisis iklim. Hal ini menyebabkan kelompok-kelompok yang rentan semakin terpinggirkan.

“Dana utang iklim semakin membebankan negara-negara berkembang, baik secara fiskal, sosial, dan ancaman terhadap subjek rentan,” ucap Arma.

Situasi ini, menurut Arma, langsung berdampak pada kelompok rentan yang paling membutuhkan dukungan untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Keterbatasan sumber daya semakin memperburuk kondisi. Perempuan harus menghadapi ancaman perampasan tanah, mata pencaharian, dan masa depan mereka akibat krisis iklim.

BACA JUGA: Celios: Perdagangan Karbon, Solusi Keliru untuk Atasi Krisis Iklim

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, mengatakan ambisi penurunan emisi global jauh dari harapan. Komitmen pendanaan iklim dari negara maju tak kunjung terealisasi.

Ia mengingatkan agar Indonesia lebih ambisius dalam menangani krisis iklim dengan cara yang adil. Pemerintah juga perlu mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan iklim dan menghentikan skema-skema utang dan bisnis atas nama krisis iklim.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top