Malang (Greeners) – Mentari pagi mulai beranjak naik. Abdul Jalil terlihat sibuk di kebunnya. Di sekitarnya terlihat tanaman sayur seperti wortel, brokoli, dan sawi. Ia menjadi petani sayur sejak lima tahun lalu setelah bertani apel tak lagi menguntungkan. Selain karena banyak tanaman apel miliknya mati, harga apel juga anjlok.
Menurutnya, menanam sayur saat ini lebih menjanjikan karena harganya relatif stabil. Bahkan ia selalu memperoleh keuntungan dari hasil bertani sayur. “Kalau menanam Apel biaya dengan pendapatan tak seimbang,” ujarnya Selasa (13/03).
Pernyataan senada juga diungkapkan Yulianto, petani apel asal Dusun Binangun Desa Bumiaji Kota Batu. Menurutnya, sejak tahun 2009 banyak tanaman apel gagal berbunga karena cuaca tak menentu. Imbasnya, banyak petani gagal panen.
Yulianto menuturkan, dalam setahun untuk merawat tanaman apel dengan luas lahan sekitar 1 hektare yang terdiri dari 1.000 pohon dibutuhkan biaya antara Rp 25 – Rp 35 juta. Biaya itu untuk ongkos buruh tani, obat, dan lain-lain.
Namun, kata Yulianto, hasil yang diperoleh tak mampu menutupi modal. Sebab, harga apel lokal per kilogram saat ini berkisar antara Rp 3.000 – Rp 3.500 saja. Dan dalam masa panen hanya memperoleh 2 ton Apel saja. “Setahun panen dua kali, kami hanya mendapatkan Rp 14 juta saja,” katanya seraya mengenang masa kejayaan Apel pada tahun 1990-an yang harga dan produktivitas apel masih tinggi.
Greeners mengamati memang masih banyak tanaman Apel di Desa Bumiaji. Namun, sebagian sudah tak lagi dirawat dan diganti dengan tanaman sayur oleh pemiliknya. Selain karena faktor suhu yang kian panas, harga Apel yang cenderung anjlok membuat petani Apel di kawasan Bumiaji beralih ke sayur.
Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Karangploso, Malang, Jawa Timur, suhu udara di Kota Batu yang berada di ketinggian 680 -1.200 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini memang menunjukkan kecenderungan meningkat dalam kurun 20 tahun terakhir.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Karangploso, Rahmatullah Aji, menyebutkan data BMKG Karangploso mencatat, Pada tahun 2000, suhu maksimum mencapai 24,5 – 27,3 derajat Celsius, namun naik kembali menjadi 25,2 – 27,8 derajat Celsius pada 2011. “Tutupan lahan berubah, vegetasi juga berubah dari semula hutan menjadi lahan pertanian,” katanya saat ditemui di kantornya, Selasa (13/03).
Pakar pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Didik Suprayogo, mengatakan tanaman apel bisa tumbuh dengan baik pada suhu 16-27 derajat Celsius dengan ketinggian ideal untuk tanaman apel pada 700-1.200 mdpl.
Menurut Didik, hanya di daerah yang lebih tinggi yang berada di Kecamatan Bumiaji yang masih baik untuk tanaman apel. Menurutnya, kondisi perubahan suhu udara di Kota batu yang kian panas berdampak pada penurunan produktivitas apel. “Para petani harus bisa beradaptasi terhadap perubahan ini,” katanya.
Data Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kota Batu mencatat total luas lahan tanaman apel di Kota Batu pada 2005 terdapat 2.604.829 pohon apel. Dan hanya 2.204.800 pohon yang masih produktif yang menghasilkan 1.235.569,92 kuintal apel dengan tingkat produktivitas sebanyak 28,02 kg per pohon.
Jumlah tersebut merosot tajam Pada tahun 2010. Jumlah pohon apel tinggal 2.574.852 pohon dengan jumlah tanaman yang masih produktif hanya sebanyak 1.974.366 pohon. Sedangkan tingkat produktifitasnya sebanyak 842.799,00 kuintal saja dengan produktivitas 17,00 kg per pohon.
Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kota Batu, Sugeng Pramono mengatakan, pemerintah saat ini berupaya melakukan perbaikan budidaya pertanian apel karena di beberapa tempat sudah tak cocok lagi ditanami apel. “Salah satunya dibutuhkan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas pertanian apel,” kata Sugeng. (G17)