Jakarta (Greners) – Hasil kompilasi sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) terhadap submisi Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang diajukan oleh 146 negara sebelum 1 Oktober memberikan sinyal adanya urgensi dan penguatan upaya global (enhanced global action) untuk mengatasi perubahan iklim.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) menyatakan, menurut perhitungan, janji negara-negara melakukan aksi mitigasi pasca 2020 dalam INDC dapat menurunkan laju pertumbuhan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada rentang 2010-2030 sebesar 4 Gigaton (Gt) pada tahun 2030 jika dibandingkan dengan skenario tanpa INDC.
Meskipun informasi UNFCCC tersebut cukup membangkitkan optimisme bahwa upaya global untuk mengatasi perubahan iklim belum berakhir, sekaligus memberikan harapan tercapainya kesepakatan global di COP-21 Paris. Namun, hasil ini juga seperti menunjukan adanya kecemasan bahwa upaya kolektif ini masih belum memadai untuk menghindari resiko kenaikan temperatur global dibawah 2 derajat Celcius pada akhir abad ini.
“Laporan UNFCCC menunjukan bahwa INDC memiliki kemampuan untuk mengurangi perkiraan trajektori kenaikan temperatur dari 3,6 derajat Celcius menjadi 2,7 derajat Celcius pada akhir abad 21. Walaupun potensi penurunan yang bisa terjadi cukup besar tetapi masih jauh lebih tinggi daripada batas kenaikan yang dianggap aman yaitu 2 derajat Celcius,” terang Fabby kepada Greeners, Jakarta, Selasa (03/11).
Negara-negara diseluruh dunia, menurut Fabby, masih perlu melakukan peninjauan ulang terkait INDC mereka dan jika dimungkinkan oleh situasi nasionalnya (national circumstances) untuk menyesuaikan dengan target global membatasi kenaikan temperatur dibawah 2 derajat bahkan hingga 1,5 derajat Celcius.
Indonesia sendiri, lanjutnya, dapat menggunakan informasi dari laporan sekretariat UNFCCC ini dan hasil COP 21 untuk meninjau ulang INDC-nya karena Indonesia adalah salah satu negara yang telah menyampaikan INDC kepada UNFCCC. Saat ini, Indonesia bermaksud menurunkan emisi sebesar 29 persen dari Business as Usual (BAU) pada tahun 2030 dengan upaya sendiri dan tambahan 12% dengan dukungan dari negara-negara maju.
“Walaupun demikian, INDC Indonesia (INDCI) masih memiliki sejumlah kelemahan substansial jika dibandingkan dengan ketentuan yang tercantum dalam keputusan 1/CP.20 paragraf 13 yang menyatakan bahwa INDC yang diajukan oleh para pihak harus dapat memberikan kejelasan (clarity), transparansi (transparency) dan mempromosikan pemahaman (understanding),” tambahnya.
Menurut kajian yang dilakukan IESR, naskah INDCI memiliki sejumlah kelemahan. Diantaranya, dalam metodologi yang dipakai dalam penentuan skenario BAU, ketidakjelasan aktivitas dan kontribusi emisi dari masing-masing sektor terhadap target penurunan, dan bagaimana target penurunan tercapai serta integritas dari keseluruhan naskah INDC.
Kajian DNPI (2010), juga menyatakan bahwa pada tahun 2030 Indonesia dapat berkontribusi sekitar 5 persen dari total emisi GRK global. Menurut Fabby, INDC Indonesia masih dapat diperkuat dengan aksi yang lebih ambisius dengan memperkuat upaya-upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan, menurunkan laju deforestasi dan konversi lahan, mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan 2020-2030, dan peningkatan efisiensi kendaraan bermotor dan kualitas bahan bakar minyak (BBM).
“Dengan berbagai aksi ini, Indonesia dapat mencapai target INDC yang lebih ambisius tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional yang lebih luas seperti penanggulangan kemiskinan dan pengentasan kemiskinan energi (energy poverty). Pembaharuan INDC diharapkan dapat membuat Indonesia lebih aktif mendorong solusi global dan target global yang lebih ambisius di Paris,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih