LONDON, 9 Juli 2017 – Perubahan iklim memberikan dampak buruk bagi lebah di Eropa dan pemanasan global memberikan masalah reproduksi bagi kura-kura Atlantik. Dua penelitian terpisah mengkonfirmasikan bahwa kekhawatiran peningkatan level karbon dioksida dan suhu planet dapat berdampak buruk bagi kehidupan liar.
Diperkirakan setidaknya ada 550 spesies lebah di Jerman. Banyak dari spesies ini soliter dan hidup singkat: lebah betina mendedikasikan hidup mereka beberapa minggu untuk memberi makan, reproduksi dan meninggalkan makan bagi keturunan mereka.
Yang menjadi catatan penting adalah momen penetasan: saat lebah muncul terlalu awal dari hibernasi, makanan tidak tersedia dan kelaparan. Dan, musim semi bergerak lebih awal beberapa dekade belakangan.
Lingkungan terkontrol
Para peneliti di Universitas Würzburg melaporakan pada Journal of Animal Ecology bahwa mereka telah membuat 36 kandang terbang untuk melihat tiga spesies lebah yang muncul saat musim semi, dan lingkungan kandang yang terkontrol sehingga lebah tersebut muncul saat tanaman mulai berbunga, tiga atau enam hari sebelumnya.
Kemudian mereka mengamati perkembangan lebah dalam daur hidupnya yang singkat. Beberapa lebah yang muncul terlalu cepat tidak bertahan. Lebah yang bertahan tidak terlalu aktif dan hanya menghasilkan beberapa generasi.
“Sudah terlihat adanya ketidakcocokan minor temporal dari tiga atau enam hari cukup untuk merugikan lebah,” jelas Mariela Schenk, yang mengepelai studi tersebut.
Salah satu spesies merespon kekurangan makanan dengan memproduksi lebih sedikit lebah betina dan lebih banyak jantan, yang butuh sedikit makanan ketimbang betina. Spesies lainnya merespon dengan menempatkan lebih sedikit telur pada setiap sarang.
Spesies ketiga menjadi lebih aktif pada tahap kedua kehidupannya, namun tidak cukup aktif untuk mengganti permulaan yang buruk.
Secara umum, penempatan waktu yang buruk berdampak kepada lebah. Tanaman yang bergantung pada polinasi lebah juga tidak mendapatkan manfaat apa-apa.
Makhluk dengan kebiasaan
Para peneliti saat ini mengkonfirmasi bahwa perubahan iklim akan berdampak pada keanekaragaman hayati, seperti manusia, kehidupan liar seperti pola cuaca akan menjadi tidak bisa diprediksi.
Ada bukti nyata dan berulang-ulang bahwa serangga, tanaman dan burung akan pindah ke tempat lebih tinggi saat suhu udara naik. Kupu-kupu juga akan menghadapi tantangan yang sama, dan para ahli ekologi dan biologi sudah memulai mencatat pemusnahan lokal, meskipun spesies tersebut bertahan, jumlahnya menjadi semakin terbatas.
Kura-kura tempayang akan menghadapi risiko dengan alasan yang berbeda. Kura-kura merupakan salah satu spesies yang dalam reproduksi penetasannya bergantung kepada suhu udara.
Para peneliti dari Universitas Swansea dalam laporan di the journal Global Change Biology telah memonitor suhu pasir saat mereka membangun sarang bertelur di Cape Verde di Atlantik selama enam tahun belakangan.
Mereka juga melaporkan tingkat kelangsungan hidup dari 3.000 sarang untuk melihat hubungan antara suhu di inkubasi dengan kelangsungan hidup tukik, dan mereka mensimulasikan tantangan yang akan dihadapi spesies tersebut saat suhu udara meningkat.
Saat ini, kura-kura aman. Inkubasi yang menghangat untuk sementara akan meningkatkan pertumbuhan populasi secara alami. Suhu lebih hangat berarti lebih banyak betina dan tukik.
“Namun, di luar dari suhu yang kritis, pertumbuhan alami dari populasi menjadi menurun karena adanya peningkatan suhu sarang. Suhu terlalu tinggi membuat embrio tidak bisa bertahan. Hal ini mengancam keberlangsungan hidup populasi kura-kura dalam jangka panjang,” jelas Jacques-Olivier Laloë, yang memimpin studi tersebut.
“Pada beberapa tahun belakangan, di beberapa tempat seperti Florida, yang menjadi sarang bertelur yang penting, banyak laporan yang menyatakan bahwa tingkat keberlangsungan hidup terus menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu memperhatikan suhu inkubasi dan sarang kura-kura bila ingin melindungi mereka.” – Climate News Network